JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani mengatakan bahwa revisi Undang-Undang Narkotika harus tegas terhadap penerapan rehabilitasi bagi pengguna narkotika sehingga dapat menjadi solusi untuk permasalahan jumlah tahanan yang melebihi kapasitas lembaga pemasyarakatan (lapas).
“Saya kira revisi Undang-Undang Narkotika harus menetapkan atau menegaskan politik hukum yang terkait dengan rehabilitasi bagi pengguna,” kata Arsul Sani dalam acara diseminasi penelitian bertajuk Disparitas dan Kebijakan Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika di Indonesia yang disiarkan di kanal YouTube IJRS TV, dipantau dari Jakarta, Selasa 28 Juni.
Arsul Sani mengatakan bahwa materi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Narkotika yang diajukan pemerintah belum cukup menampakkan politik hukum ‘relaksasi kriminalisasi’ terkait penyalahgunaan narkotika.
Selain itu, ia berpandangan bahwa materi yang diajukan pemerintah masih membuka ruang untuk terulangnya permasalahan UU Narkotika saat ini, yaitu jumlah tahanan yang melebihi kapasitas lapas.
“Kalau lihat materi RUU yang diajukan pemerintah, sebetulnya belum cukup menampakkan politik hukum relaksasi kriminalisasi. Saya nggak akan pakai istilah dekriminalisasi, tapi relaksasi kriminalisasi soal penyalahgunaan narkotika,” ucap Arsul Sani.
BACA JUGA:
Arsul Sani mengatakan bahwa pembentuk Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sudah jelas mengutamakan para pengguna untuk menjalani rehabilitasi, terlihat dari Pasal 127 UU Narkotika.
“Tetapi, penegak hukum kita dengan alasan karena ada unsur memiliki dan menguasai pada Pasal 111, 112, 113, dan 114, maka yang dikembangkan adalah proses penegakan,” tuturnya.
Tindakan tersebut, kata dia, yang selanjutnya memicu prasangka buruk di tengah masyarakat. Masyarakat memandang para pengguna menjalani masa tahanan karena tidak memiliki uang untuk direhabilitasi.
“Saya berharap teman-teman masyarakat sipil memberikan masukan untuk pembahasan RUU perubahan atas Undang-Undang Nomor 35 ini,” ucap Arsul Sani.