Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menilai bahwa masih tingginya kekerasan terhadap anak dan perempuan dapat menghambat tumbuh kembang anak dan pembangunan.

"Dampak dari kekerasan menyebabkan tidak optimalnya tumbuh kembang anak dan menghambat peran serta perempuan dalam pembangunan," ujar Staf ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga KPPPA Rini Handayani dalam bincang media yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat 24 Juni.

Ia mengemukakan berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2021 menyebutkan satu dari empat perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik atau seksual yang dilakukan pasangan dan selain pasangan selama hidupnya.

Kemudian, Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2021 menemukan tiga dari 10 anak laki-laki dan empat dari 10 anak perempuan yang berusia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan dalam bentuk apapun di sepanjang hidupnya.

Ia mengatakan, meski angka survei itu mengalami penurunan prevalensi kekerasan terhadap anak maupun perempuan. Namun angka-angka tersebut masih memprihatinkan.

"Angka-angka itu masih cukup tinggi walaupun terjadi penurunan karena kekerasan terhadap anak maupun terhadap perempuan adalah ibarat fenomena gunung es," tuturnya.

Sebab, menurutnya, kasus kekerasan yang sebenarnya terjadi lebih tinggi daripada kasus yang terlaporkan.

Dari banyak persoalan yang ada terhadap perempuan dan anak, Rini mengatakan, Presiden memberikan lima arahan kepada KPPPA untuk melakukan program-program prioritas.

Lima arahan itu, yakni peningkatan pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan yang berperspektif gender, peningkatan peran ibu dan keluarga dalam pendidikan atau pengasuhan anak.

Kemudian, penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak, penurunan pekerja anak, dan pencegahan perkawinan anak.

"Lima hal penting yang harus kita selesaikan bersama dan diberikan padanya kepada KPPPA sebagai koordinator untuk menyelesaikan persoalan tersebut," katanya.