Hakim PN Tanjungpinang Perintahkan Terdakwa Korupsi Tambang Bauksit Ditahan
Terdakwa korupsi IUP OP tambang bauksit Ferdi Yohanes digiring Kejari Tanjungpinang, Kepri, menuju rumah tahanan, Senin (20/6). (ANTARA/Ogen)

Bagikan:

TANJUNGPINANG - Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Tanjungpinang, Kepulauan Riau (Kepri) memutuskan menahan terdakwa kasus korupsi izin usaha pertambangan operasi produksi (IUP-OP) tambang bauksit di Bintan, Ferdy Yohanes pada persidangan kedua.

"Majelis Hakim meminta Jaksa Penuntut Umum (JPU) menahan terdakwa korupsi, Ferdi Yohanes. Pada sidang pertama, Senin (14/6), terdakwa belum ditahan," kata Humas PN Tanjungpinang Isdaryanto, dikutip Antara, Senin, 20 Juni.

Ia menyebut Majelis Hakim beralasan kasus tindak pidana korupsi masuk dalam kategori kejahatan luar biasa, sehingga memandang perlu menahan terdakwa Ferdi Yohanes di dalam rumah tahanan (Rutan) Tanjungpinang.

"Kemudian, Majelis Hakim mempertimbangkan mengenai syarat objektif dan subjektif, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 Ayat 1 dan Ayat 4 KUHAP," ujarnya.

Sementara itu, Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri (Kejari) Tanjungpinang Dedek Syumarta Suir menyampaikan pihaknya langsung menjebloskan terdakwa Ferdi Yohanes ke dalam rutan, Senin sore, setelah adanya putusan dari Majelis Hakim.

Keputusan penahanan terdakwa, katanya, merupakan wewenang Majelis Hakim PN Tanjungpinang.

"Terdakwa ditahan selama 30 hari ke depan untuk menjalani proses hukum lebih lanjut," ujar Dedek.

Terdakwa Ferdi Yohanes didakwa melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan terdakwa/terpidana lain, dalam penyalahgunaan IUP OP tambang bauksit di Kabupaten Bintan tahun 2018-2019.

Perbuatan terdakwa yang menawarkan dan meminta uang sewa dari hutan lindung untuk ditambang, telah mengakibatkan aset yang menjadi milik negara terlepas dari kepemilikan Negara secara melawan hukum dengan diterbitkannya/keluarnya IUP OP untuk penjualan kepada badan usaha yang tidak sesuai dengan mekanisme yang benar.

Dalam kasus ini, terdakwa Ferdi Yohanes juga disangka merugikan keuangan negara sebesar Rp7,5 miliar atas penerimaan sewa dari lahan hutan lindung kepada sejumlah perusahaan tambang yang sebelumnya telah dihukum pidana.