JAKARTA - Banjir yang melanda wilayah Jabodetabek dan Banten pada sejak 1 Januari lalu tentu membawa kerugian materi bagi semua pihak yang terdampak. Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) DKI memperkirakan kerugian tersebut bisa mencapai Rp1 triliun.
Ketua Umum DPD HIPPI DKI Sarman Simanjorang menjelaskan kerugian tersebut berdasarkan perputaran penghasilan sejumlah tempat usaha yang semestinya beroperasi. Namun, karena banjir melanda perputaran uang tersebut lumpuh.
"Banjir ini sangat memukul pelaku usaha di berbagai sektor, seperti retail, restoran, pelaku UMKM, destinasi wisata, pengelola taksi, Grab dan Gojek," tutur Sarman dalam keterangan tertulis yang diterima VOI, Selasa, 14 Januari.
Pada sektor retail, Sarman memperkirakan ada 400 toko yang terdampak langsung sehingga tidak bisa melayani pelanggan. Perhitungan dia, jika satu toko memiliki pelanggan sekitar 100 orang dengan asumsi belanja rata-rata Rp250 ribu per orang, maka kerugian bisa mencapai Rp10 miliar per hari.
Kemudian, Sarman berasumsi pusat perbelanjaan kehilangan 50 persen pengunjung saat banjir. Biasanya, saat libur tahun baru pengunjung bisa mencapai 5.000 orang dengan asumsi belanja Rp200 ribu.
Kala itu, transaksi bisa mencapai Rp82 miliar dengan total 82 mal di Jabodetabek. "Jika pengunjung turun sekitar 50 persen, maka kerugian transaksi mencapai Rp41 miliar," ungkap dia.
Selain itu, terdapat 28 pasar tradisional yang terkena imbas banjir dengan jumlah pedagang sebanyak 250 per pasar dan 7.000 pedagang. "Jika rata rata penjualan sekitar 500,000 per pedagang maka kerugian transaksi mencapai Rp3,5 miliar," katanya.
BACA JUGA:
Selanjutnya, jumlah otlet restoran di DKI Jakarta yang terdampak banjir sebanyak 3957. Ada penurunan omzet rata-rata 50 persen tiap restoran. Jika setiap restoran memiliki transaksi minimal Rp2 juta, maka kerugian transaksi mencapai Rp.7,9 miliar.
Lebih lanjut, Sarman memperkirakan sektor transportasi mengalami penurunan omset mencapai 70 persen. Jumlah taksi online di Jabodetabek mencapai 36.000 kendaraan. Jika omzet menurun sekitar Rp100 ribu, maka kerugian transaksi mencapai Rp.3,6 miliar.
"Sementara, jumlah ojek online di Jabodetabek mencapai 1.250.000 pengemudi. Jika omzet turun menjadi rata rata Rp25 ribu, maka kerugian transaksi mencapai Rp31,25 miliar," jelas dia.
Selain itu, sektor pariwisata turut mengalami penurunan penghasilan. Pengunjung Ancol, Kota Tua, Monas, TMII, dan Kebun Binatang Ragunan tentu mengalami penurunan. Asumsi dia, tempat wisata tersebut berkurang 50-70 persen.
"Kerugian transaksi di Ancol bisa mencapai Rp15,5 miliar, Kota Tua beserta seluruh museumnya bisa mencapai Rp3,5 miliar, Monas mencapai Rp10 miliar, TMII mencapai Rp3,15 miliar, dan Ragunan mencapai Rp5,4 miliar," bebernya.
Jika dijumlahkan secara keseluruhan kerugian transaksi dari sisi perputaran uang akibat banjir ekstrim 2020 bisa mencapai sebesar Rp.135.054.000.000 per hari. Jika dikalikan selama 5 hari musim liburan dalam kondisi banjir, maka taksiran kerugian mencapai minimal Rp675 miliar.
Perhitungan itu belum ditambah kerugian langsung pedagang pasar yang dagangannya tidak laku, serta biaya perbaikan sekitar 1.500 taksi yang sempat terendam.
"Jika ditambah dengan kerugian langsung terhadap taksi dan pedagang pasar sekitar Rp370 miliar, maka perkiraan kerugian mencapai Rp 1,05 triliun," sebut Sarman.
"Ini adalah asumsi atau perkiraan. Tidak ada data yang pasti. Tapi, minimal kita punya gambaran atau bayangan dampak banjir ini terhadap kerugian transaksi atau perputaran uang selama libur tahun baru 2020 yang seharusnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Jakarta dan menjaga angka inflasi," tambahnya.