Bagikan:

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PDIP Junimart Girsang mempertanyakan soal Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) ke Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian. Menurutnya, Apdesi melanggar UU Nomor 17 Tahun 2013 terkait Organisasi Masyarakat (Ormas) lantaran mendukung perpanjangan masa jabatan, dalam hal ini mendeklarasikan Jokowi 3 periode. 

"Pak menteri, saya mau tanya mengenai UU 17 tahun 2013, menyangkut ormas. Tentu ormas ini di bawah pengawasan dan pembinaan dari Kemendagri. Saya melihat, mencermati selama ini ormas-ormas itu kebanyakan bablas Pak Menteri. Bablas itu artinya mereka sudah tidak tunduk kepada aturan dan peraturan perundangan-undangan nomor 17 tahun 2013," ujar Junimart dalam rapat kerja bersama Mendagri di Kompleks Parlemen, Selasa, 5 April. 

Padahal, lanjut Junimart, itu menjadi kewajiban dari Kemendagri untuk membina, mengawasi dan membina para ormas.

"Termasuk yang terakhir, kalau kita masih ingat betul tentang Apdesi. Undang-undang tentang Ormas dan undang-undang tentang Pemerintahan Desa, sudah jelas mengatakan bahwa para kepala desa tidak boleh bermain politik praktis," tegas Junimart. 

Politikus PDIP itu menilai semestinya para kepala dan perangkat desa itu sudah paham tentang UU Pemerintah Desa. Sehingga, tidak boleh yang namanya dukung mendukung secara politik. 

Kemudian, adanya dua Apdesi yang terdaftar di KemenkumHAM dan Kemendagri. Menurut Junimart, semestinya Kemendagri memberikan teguran bagi Apdesi agar tidak menjadi sumber kegaduhan baru.

"Itu mengatakan ada yang sah dan tidak sah, bahkan ada yang sah dua-duanya. Kemendagri itu mestinya menetralisir dan langsung menegur Apdesi secara terang benderang, supaya tidak menjadi bola liar di massmedia, supaya tidak membuat bingung masyarakat," kata Legislator PDIP dapil Sumatera Utara itu. 

"Jadi saran kami, sebaiknya Kemendagri mengambil sikap sebagai pembina pengawas dari seluruh ormas di Indonesia," tandas Junimart. 

Menanggapi Junimart, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, menegaskan tidak ada dukungan perpanjangan masa jabatan presiden 3 periode yang dilakukan Apdesi saat Silatnas di Istora Senayan. 

Tito juga menerangkan soal adanya dua Apdesi. Di mana Apdesi yang dipimpin oleh Surtawijaya terdaftar di Kemendagri, dan Apdesi pimpinan Arifin Abdul Majid terdaftar di KemenkumHAM.  

"Ada katanya deklarasi 3 periode, saya di sana. Itu tidak ada deklarasi 3 periode. Yang ada Apdesi ini kita tahu ada dua, pertama terdaftar di Kumham, itu namanya perkumpulan," ujar Tito dalam Rapat Kerja bersama Komisi II DPR, Senayan, Jakarta, Selasa, 5 April. 

"Ini rata-rata sebagian besar isinya anggotanya pejabatnya itu adalah mantan kepala desa. Karena seksi ini kepala desa, selesai juga gak mau lepas. Sementara kepala desa yang real gak mau mereka dipimpin oleh mantan. Apalagi mereka mantan dan kepala desa itu benturan. Sama saja gubernur bupati kan banyak lawan politik itu juga," sambung Tito. 

Sehingga, lanjut Tito, Apdesi yang tak mau dipimpin oleh mantan kepala desa itu mendaftarkan ke KemenkumHAM pada 2016. Padahal, sebelumnya sudah ada asosiasi kepala desa yang real terdaftar di Kemendagri. 

"Nah, yang sekarang ini, pak Surta ini, saya menghadiri munasnya lebih kurang enam bulan lalu kemudian juga waktu pelantikan juga disini di DPR. Saya juga yang lantik karena pembina," jelas Tito. 

Tito mengungkapkan, dalam rumah tangga organisasi mereka berhak menunjuk siapa penasehat dan pembina. Saat itu mereka meminta Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan sebagai ketua dewan pembina. 

"Mungkin karena kemampuan dan lain-lain, saya sendiri sebagai pembina bersama menteri desa tertinggal," ungkap Tito. 

"Setelah mereka pelantikan, buat surat resmi kepada presiden dan saya, Mendes PDTT ada sejumlah aspirasi yang ingin mereka sampaikan isinya bukan deklarasi tapi aspirasi. Suratnya ada nanti saya kirim juga," lanjutnya. 

Tito lantas menerangkan, aspirasi apa saja yang diminta oleh Apdesi. Diantaranya, meminta agar ada anggaran operasi sebesar 5 persen dari DAU. Alasannya, memang anggarannya ada tapi operasional anggarannya sendiri. 

"Tapi akhirnya banyak yang menyolek anggaran dari program sehingga ketangkap, yang ketangkap banyak sekali oleh jaksa kepolisian," sebutnya. 

Kedua, adalah soal gaji. Semula mereka digaji pertiga bulan kemudian diminta untuk menjadi perbulan sama seperti yang lain. "Nah rupanya pertiga bulan ini tergantung dari kabupatennya. Banyak daerah yang masih mengandalkan transfer pusat," katanya. 

Ketiga, meminta dana desa ditingkatkan. Tito mengatakan, para kepala desa itu berterimakasih kepada Presiden Joko Widodo karena menyetujui aspirasinya.  

Tito mengatakan, ada anggaran real per tahun sejak 2015 dengan total sampai 2021 lebih kurang Rp 400 triliun plus Rp 8 triliun di tahun 2022.

"Nah jadi, ada muji nya ada juga mintanya. Kira-kira begitu, sehingga minta audiensi rame-rame dengan bapak presiden. Tapi saya gak bisa jawab masalah keuangan bukan kewenangan saya," ucapnya. 

Tito pun memaparkan kronologi acara Silatnas di Istora Senayan. Kata dia, ada dua sesi dalam acara tersebut. Pertama, tentang pembangunan desa, yang menjadi pembicara adalah Mendes PDTT dan moderator dari DPD RI. 

"Kedua acara perkenalan bapak presiden yang dimulai oleh lagu Indonesia raya. Sambutan isinya aspirasi oleh Pak Surta. Kemudian presiden penuhi 3 persen tidak bisa 5 persen. Yang pertiga bulan beliau juga baru tahu, beliau setuju memerintahkan kepada saya dan menteri keuangan agar mereka diberikan gaji sebulan," paparnya. 

"Berikutnya lagi yang ditolak adalah penambahan anggaran desa. Sekarang kondisi finansial tertekan paska pandemi. Tadinya mau minta sekian persen dari DAU," imbuhnya. 

Acarapun, kata Tito, selesai dengan diakhiri tepuk tangan. "Setelah itu pak presiden seperti biasa mutar, nyapalah. Pada saya mau keluar, begitu diluar kepala desa ramai ada yang teriak-teriak 3 periode, pak Jokowi senyum aja tapi di media yang muncul 3 periodenya. Menurut saya wajar aja spontan mau ngomong," tutur Tito. 

Menurut Tito, acara Silatnas itu bukan acara politik. Hanya saja, jika disebut kepala desa tidak boleh berpolitik praktis, Tito justru mempertanyakan status kepala desa itu sendiri. Sebab di UU Desa tidak mengatur status kepala desa, apakah ASN atau pegawai negeri atau non pegawai negeri. 

"Di UU desa, ini yang gak disadari oleh pembuat UU di tahun 2014, status kepala desa apa. Diundang undang nomor 6 tahun 2014 itu intinya adalah mengembangkan desa tapi tidak pernah satu pun pasal yang mencantumkan status kepala desa. Nah apakah dia ASN atau bukan? Pegawai Negeri atau bukan yang harus ikut aturan pegawai negeri tidak boleh ikut politik praktis gak ada. Jadi UU ini spiritnya yang penting desa maju. Status mereka ini tidak disebut ASN tidak pegawai pemerintah yang harus taat UU ASN yang melarang kegiatan politik," beber Tito. 

Tito mengatakan, UU Desa memang menyebut kepala desa tidak boleh menjadi pengurus parpol. Di Pasal 29 satu satunya yang mengatur masalah politik. Kedua tidak boleh terlibat dalam kampanye pemilu atau kepala daerah, sanksinya bisa diberhentikan. 

"Ini saya kira perlu dipikirkan mereka bukan lagi pemimpin komunitas biasa. Sekarang birokrat. Tapi UU itu tidak ngatur itu. Kalau saya statement kepala desa tidak boleh deklarasi mereka jawab yang atur itu apa. Saya malah melanggar hukum kecuali UU jelas tegas," katanya. 

"Kalau mereka kampanye saya larang tapi lakukan kegiatan yang baunya politik tidak dimasa kampanye dasar larangan saya apa. Saya justru melanggar spirit reformasi, kebebasan," demikian Tito.