JAKARTA - Langkah Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa yang memperbolehkan keturunan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) mendaftar sebagai prajurit mendapat dukungan. Keputusan ini juga dinilai tak perlu dikhawatirkan secara berlebihan karena sudah berjalan sesuai aturan perundangan.
Andika mencabut larangan bagi keturunan anggota PKI yang ingin menjadi prajurit TNI. Hal ini diputuskan lewat rapat penerimaan prajurit TNI meliputi Taruna Akademi TNI, Perwira Prajurit Karier TNI, Bintara Prajurit Karier TNI dan Tamtama Prajurit Karier TNI Tahun Anggaran 2022 yang dihadiri Kasum TNI, Irjen TNI dan Dankodiklat TNI.
Saat itu, Andika mengatakan jika ada panitia seleksi yang menggagalkan calon karena alasan keturunan PKI maka keputusan tersebut tak punya dasar hukum.
“Yang dilarang itu PKI, yang kedua ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme. Itu yang tertulis,” kata Andika menyampaikan isi Ketetapan (TAP) MPRS XXV/1966 sebagaimana disiarkan kanal YouTube Jenderal TNI Andika Perkasa.
Mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ini kemudian meminta jajarannya yang mengurusi seleksi penerimaan prajurit TNI untuk menghapus pertanyaan tentang hubungan kekerabatan dengan anggota PKI. Sebab, Andika menilai, pertanyaan ini mengada-ada.
"Jangan kita mengada-ada. Saya orang yang patuh peraturan perundang-undangan. Ingat ini. Kita melarang pastikan kita punya dasar hukum," tegasnya.
Jenderal Andika juga memerintahkan Panitia Seleksi untuk tidak membuat aturan dan larangan yang tidak ada dasar hukumnya, termasuk di antaranya terkait hubungan kekerabatan calon prajurit dengan PKI dan organisasi sayap (underbow) PKI.
"Zaman saya tidak ada lagi (larangan terkait, red) keturunan. Tidak, karena saya menggunakan dasar hukum," ujar Andika.
Langkah Andika ini kemudian ditanggapi pengamat militer Beni Sukadis. Dia bilang, kebijakan ini tak perlu dikhawatirkan dan jadi perdebatan karena masih sesuai tataran hukum dan perundangan yang berlaku.
"Saya pikir langkah Panglima TNI Andika masih dalam tataran hukum dan perundangan. Jadi sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan lagi," kata Beni saat dihubungi VOI, Kamis, 31 Maret.
Beni juga menganggap tak perlu ada kekhawatiran berlebih terhadap keturunan PKI yang mendaftar jadi calon tentara. Sebab, mereka bisa saja berbeda pandangan politik dengan para pendahulunya.
"Artinya, mereka yang akan mendaftar menjadi calon anggota (TNI, red) kan sudah generasi ketiga atau cucu dari keturunan tahanan politik atau napi politik PKI," tegasnya.
"Sehingga, dari aspek sosial dan pengaruh mungkin sudah berbeda cara pandangnya," imbuhnya.
Selain itu, perekrutan TNI juga dilakukan dengan cara yang ketat dalam aspek psikologi maupun ideologi. Artinya, kekhawatiran berlebih terkait diperbolehkannya keturunan PKI mendaftar sebagai prajurit dirasa tak relevan.
"Yang jadi pertanyaan adalah apa yang patut dikhawatirkan dengan masuknya keturunan mereka? Karena dari sistem perekrutan TNI ada seleksi ketat dalam aspek psikologis dan ideologi," ungkapnya.
Harus dicontoh oleh instansi lain
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menyoroti kebijakan ini dan memberikan dukungan. Bahkan, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menilai pemberian lampu hijau bagi keturunan anggota PKI seperti yang dilakukan Andika juga diikuti oleh lembaga pemerintahan yang lain.
Beka beralasan, hal ini sesuai dengan hak asasi setiap warga negara. Di mana masing-masing individu punya hak yang sama tanpa melihat latar belakang mereka.
"Kebijakan seperti ini juga harus diterapkan di institusi atau lembaga pemerintahan lain yang masih menerapkan cara-cara lama. Setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dan pembangunan," kata Beka saat dihubungi.
Beka mengatakan dukungan sepenuhnya akan diberikan Komnas HAM dalam keputusan ini. Selain demi memberikan kesetaraan, apa yang diputuskan Andika adalah bagian dari pemulihan hak korban dan keluarga korban.
Lagipula, sudah saatnya bagi semua pihak untuk menghapus stigma dan diskriminasi yang dialami oleh keturunan PKI. Karena, hal semacam ini kerap membuat mereka trauma dan terpinggirkan secara sosial.
"Dari perspektif korban dan keluarga korban, kebijakan seperti ini adalah bagian dari pemulihan hak korban dan keluarga korban terutama hak bebas dari stigma dan diskriminasi," tegasnya.
"Sudah saatnya kita bersama menghapus stigma dan diskriminasi yang acap kali membangkitkan trauma dan meminggirkan mereka secara sosial maupun pemerintahan," pungkas Beka.