Bagikan:

ACEH - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Aceh terjun ke lapangan mengecek jumlah pengungsi Rohingya yang masih berada di Aceh.

Setelah berkeliling, Komnas HAM melaporkan pengungsi Rohingya di Aceh tersisa 155 orang. Dengan detail lokasi tersebar di BLK Lhokseumawe 41 dan di Kabupaten Bireuen 114 orang.

"Kita telah meninjau lokasi penampungan sementara dan bertemu dengan berbagai pihak di antaranya Pemerintah Kota Lhokseumawe, Pemerintah Bireuen, perwakilan UNHCR, IOM serta para relawan," kata Kepala Komnas HAM Aceh, Sepriady Utama, di Banda Aceh, Senin 28 Maret.

Sepriady menyebutkan, pengungsi Rohingya --etnis beragama Islam di Myanmar-- yang tersisa di BLK Lhokseumawe saat ini berjumlah jumlah 41 orang, diantaranya 11 perempuan dewasa, 11 laki-laki dewasa, anak laki-laki tiga orang dan anak perempuan 16 orang. "Sedangkan total pengungsi yang kabur dari tempat penampungan tersebut sebanyak 67 orang," ujarnya, mengutip Antara.

Kemudian, kata Utama, terdapat sebanyak 114 orang pengungsi Rohingya yang terdampar pada 6 Maret 2022 lalu di Kabupaten Bireuen, mereka kini ditempatkan di Aula Kantor Camat Jangka, Bireuen.

114 pengungsi Rohingya ini terdiri dari 44 perempuan dan 70 laki-laki dengan klasifikasi 40 orang anak-anak dan 74 dewasa, dan 33 orang diantara anak-anak tersebut tanpa pendampingan.

"Lokasi dan tempat yang bersifat darurat sementara ini dinilai tidak layak untuk penanganan tahap berikutnya oleh UNHCR dan IOM," kata Sepriady.

Ia menyampaikan, saat ini terjadi persoalan ketidakpastian mengenai penempatan para pengungsi Rohingya ke lokasi penampungan utama, mengingat mereka yang ditempatkan di BLK Kota Lhokseumawe dan Bireuen hanya bersifat sesaat dan dalam kondisi darurat saja.

Bahkan, kata dia, saat ini terjadi kecenderungan resistensi dalam penerimaan penempatan sementara di daerah. "Untuk itu perlu adanya kejelasan mekanisme penerimaan, penempatan, serta penanganan yang terkoordinasi secara tertib dan baik oleh pemerintah," ujarnya.

Ia menuturkan, warga Rohingya yang terus masuk ke wilayah Indonesia khususnya perairan Aceh ini diduga terjadi karena keterlibatan penyelundup jaringan internasional (smuggler), dan sudah mengetahui kondisi perairan Indonesia sehingga mereka mudah beroperasi.

Para pihak, kata dia, kemudian menjadikan para pengungsi Rohingya sebagai korban kejahatan seperti penyelundupan manusia atau perdagangan orang (human trafficking) dan tindak pidana lainnya.

"Kejahatan serupa meningkat saat para pengungsi dalam penanganan di tempat penampungan sementara. Karena itu, perlu peningkatan kewaspadaan, pencegahan serta penegakan hukum," tandasnya.