JAKARTA - Masyarakat tidak perlu khawatir dengan pelaksanaan usaha pembangkit listrik di Tanah Air. Selain teknologi yang kini lebih ramah lingkungan sudah diadopsi banyak PLTU, berbagai peraturan pemerintah menegaskan terjaminnya usaha pembangkit yang ramah lingkungan. Salah satunya adalah Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup No 15 tahun 2019.
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (Dirjen PPKL), RM Karliansyah mengatakan, pemerintah tentu tak membiarkan usaha yang mencemari lingkungan. Pemerintah menegaskan, masyarakat tidak perlu khawatir dengan pelaksanaan perusahaan PLTU yang kini beroperasi, apalagi yang tengah dibangun.
"Dengan aturan yang ada di dalam Permen No. 15 tahun 2019 ini menerapkan baku mutu yang jauh lebih ketat dari baku mutu sebelumnya. Pembinaan juga akan dilakukan terus menerus sehingga pengusahaan pembangkit lebih taat dengan integrasi pemantauan dengan CEMS (Continous Emission Monitoring System) ke KLHK melalui SISPEK (Sistem Informasi Pemantauan Emisi Kontinu Perusahaan) sebagai bentuk perusahaan akan terawasi secara langsung," kata RM Karliansyah, dalam keterangannya, Jumat 25 September.
Dia menuturkan, penyusunan Permen ini juga sudah melibatkan berbagai stakeholder, seperti instansi pembina (Kementerian ESDM), perusahaan, asosiasi, pemerintah daerah, dan perguruan tinggi. Baku mutu yang berlaku dalam peraturan ini jauh lebih ketat jika dibandingkan dengan baku mutu yang berlaku di lingkup regional Asia dan mengadopsi peraturan internasional.
Secara khusus, Dirjen Karliansyah menyampaikan, penerapan teknologi alat pengendali emisi menjadi faktor penentu dalam menunjang pemenuhan baku mutu emisi oileh semua jenis pembangkit listrik.
Kendali Emisi
Kini, banyak pembangkit telah menggunakan alat pengendali emisi yaitu partikulat dengan Electrostatic Precipitator (ESP) atau Bag House Filter, Nitrogen Oxida (NOx) menggunakan Low NOx Burner dan Sulfur Dioksida (SO2) dengan Flue Gas Desulfurization (FGD).
Dan, pemerintah juga memantau setiap pembangkit. Bagi pembangkit yang memiliki kapasitas >25 MW atau <25 MW dengan kadar Sulfur diatas 2 persen wajib menggunakan peralatan CEMS. Sedangkan PLTMG yang memiliki kapasitas >15 MW wajib memasang CEMS.
Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman Hutajulu menegaskan hal yang sama. Tudingan pencemaran lingkungan pada pengusahaan pembangunan PLTU adalah hal yang tak tepat. Pemerintah memberikan izin pengelolaan PLTU haruslah ramah lingkungan.
Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang dengan jelas menyebutkan bahwa ke depan, PLTU harus ramah lingkungan dan efisien. Salah satunya dengan menerapkan teknologi rendah karbon dan tingkat efisiensi tinggi atau High Efficiency and Low Emmission (HELE) sehingga tercapai biaya pokok penyediaan atau BPP yang murah.
"Dengan teknologi HELE ini maka dipastikan akan memenuhi ambang batas yang telah ditetapkan oleh KLHK," tegas Jisman.
BACA JUGA:
Dia juga menjelaskan, keberadaan PLTU berbahan bakar batubara adalah yang terefisien mampu menekan biaya pokok penyediaan listrik. Ujungnya adalah ketersediaan harga jual listrik PLN kepada pelanggan yang lebih murah.
Terhadap tudingan kapasitas listrik yang berlebih di Pulau Jawa, juga disebutnya adalah tak berdasar. Catatan Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan menunjukkan pembangkit listrik regional Jawa bagian barat justru memikul beban listrik terbanyak.
Jisman menggambarkan, kondisi sistem tenaga listrik Jawa-Bali per 9 September 2020 memiliki Beban Puncak mencapai 26.253 MW dengan daya mampu pasok sebesar 31.767 MW dan reserve margin 21 persen.
"Oleh karena itu, PLN merencanakan lokasi pembangkit baru di Jawa Bagian Barat dan relokasi beberapa pembangkit tua dari sistem jawa bali ke lokasi KI/KEK/KSPN/SKPT/Smelter agar dapat diperoleh regional balance," pungkasnya.
Pembangunan PLTU kini juga merupakan bagian dari Program 35.000 MW yang bertujuan meningkatkan kapasitas listrik secara nasional, yang juga mendorong pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan atau EBT.
Ultra Super Critical
Sementara, Ketua Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI), Arthur Simatupang mengungkapkan hal serupa. Kata Arthur, banyak PLTU di Indonesia yang menggunakan teknologi canggih sama seperti di negara-negara maju.
Mereka rata-rata sudah menggunakan teknologi ultra supercritical boiler (USC). Teknologi USC menghasilkan pembakaran batu bara yang sempurna dengan emisi jauh lebih rendah sehingga lebih ramah lingkungan.
Dijelaskan, USC juga membuat efisiensi pemakaian batu bara di atas 45 persen. Misalnya, 1 kilogram batu bara biasanya menghasilkan listrik 2 kWh untuk nilai kalori 5.000. Sedangkan dengan USC, 1 kilogram itu bisa untuk 2,1 kWh.
"Ultra supercritical boiler ini jauh lebih efisien penggunaan batubaranya untuk menghasilkan output yang sama. Penggunaan konsumsi batu baranya jauh lebih sedikit. Sehingga itu jauh lebih efisien dan ramah lingkungan," urainya.
Dia menjelaskan, perancangan PLTU dan pembangkit lainnya sudah melalui proses uji dan kajian oleh berbagai pihak. Perancangannya terlebih dahulu diuji Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menyoal aspek lingkungannya. Persetujuan dari KLHK bukan di pertengahan jalan, melainkan dari awal.
"Jadi bukan dari tengah-tengah. Dari awal itu udah memenuhi syarat amdal. Jadi amdal yang menyetujui juga KLHK. Jadi pada waktu pembangkit melakukan pembangunan, semua dokumen harus sudah disetujui dari awal. Dari sisi emisinya, pengelolaan limbahnya, dan lain-lain," katanya.