Fadli Zon Minta Parlemen Dunia Fokus Pulihkan Aset dari Tindak Pidana Korupsi
FOTO VIA ANTARA/Fadli Zon

Bagikan:

NUSA DUA - Fadli Zon dalam diskusi panel yang digelar GOPAC dan Inter-Parliamentary Union (IPU) di Bali, meminta parlemen dari berbagai negara di dunia agar fokus memulihkan aset saat menindak kasus korupsi.

Fadli Zon yang merupakan Wakil Ketua Global Organization of Parliamentarians Against Corruption (GOPAC) menilai pemberantasan korupsi bukan hanya menghukum koruptor melainkan harus memulihkan aset negara yang dicuri.

“Instrumen penindakan korupsi di tingkat dunia perlu diperkuat oleh mekanisme pemulihan atau pengembalian aset yang efektif,” kata Fadli Zon saat berbicara pada diskusi panel bertajuk "Kerja Sama Internasional untuk Penindakan Korupsi dan Pemulihan Aset" dilansir Antara, Selasa, 22 Maret.

Data Stolen Asset Recovery Initiative, ada 12,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp179,2 triliun tercatat sebagai aset hasil korupsi yang dapat dikembalikan ke otoritas negara. Namun, hanya 1,8 miliar dolar AS yang telah dikembalikan ke korban atau otoritas terkait.

Sebanyak 888,7 juta dolar AS masih dalam proses hukum, dan aset senilai 10,3 miliar dolar AS masih dibekukan karena menunggu vonis hukum pengadilan, papar dia.

Dalam banyak kasus korupsi, katanya, proses di persidangan kerap berjalan sampai bertahun-tahun.

Karena itu, Fadli meyakini parlemen punya tugas untuk menghapus berbagai hambatan dalam upaya memulihkan aset yang dikorupsi.

Beberapa langkah yang dapat dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), antara lain membuat produk perundang-undangan atau mereformasi hukum yang mendukung pemulihan aset.

“Langkah itu meliputi upaya pemulihan aset yang tidak memerlukan penuntutan hukum (NCB),” kata Fadli.

Kedua, parlemen di setiap negara perlu membuat dasar yang kuat agar berbagai jenis bantuan hukum timbal balik (MLA) dapat terbentuk.

Ketiga, DPR di setiap negara harus memperkuat kehendak politik dan komitmennya, membangun kerja sama antarnegara, dan menggalang dukungan dari berbagai pihak agar aset yang dikorupsi itu dapat dipulihkan.

Fadli mengusulkan agar parlemen di setiap negara membangun sistem yang mengawasi proses pemulihan aset serta penggunaan dananya di kemudian hari.

Dalam diskusi yang sama, Wakil Ketua KPK Periode 2015-2019 Laode M. Syarif mengingatkan para anggota DPR korupsi adalah tindak pidana yang punya pergerakan cepat.

Dengan demikian, kata Laode kerja sama internasional yang konvensional tidak efektif untuk menindak kasus korupsi lintas batas.

Dia mencontohkan kasus korupsi Nazaruddin yang sempat kabur ke berbagai negara sampai akhirnya berhasil ditangkap di Kolombia.

Laode menyampaikan sebelum penangkapan itu, aparat sempat mengejar ke Singapura, Vietnam, dan Kamboja. Namun, upaya itu gagal karena kerja sama yang ada antara Indonesia dan negara-negara tersebut dalam praktiknya membutuhkan waktu dan proses panjang.

Laode,yang saat ini merupakan Direktur Eksekutif Kemitraan mengusulkan agar ada kerja sama konkret antarnegara sehingga korupsi lintas batas dapat diberantas.

Ia mengusulkan kepada parlemen untuk menghapus negara suaka pajak (tax heaven).

Laode mengusulkan adanya pembentukan Pengadilan Anti-Korupsi Internasional. Namun, usulan itu di berbagai forum dunia belum mendapat banyak dukungan.

Parlemen di dunia, katanya, harus mengupayakan adanya sanksi internasional untuk negara yang tidak kooperatif dalam penindakan korupsi lintas batas dan pemulihan aset negara.