JAKARTA - Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti kini berstatus tersangka dalam dugaan pencemaran nama baik Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Keduanya akan diperiksa sebagai tersangka pada hari ini, Senin, 21 Maret.
Kabar perihal penetapan tersangka ini disampaikan oleh Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Endra Zulpan. Dia membenarkan penetapan tersangka terhadap Haris dan Fatia atas dugaan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Luhut.
"Intinya statment saya membenarkan dulu. Keduanya sudah jadi tersangka. Senin nanti dijadwalkan untuk pemeriksaan," kata Endra saat dikonfirmasi pada Sabtu, 19 Maret.
Terkait jadwal pemeriksaan itu, Julius Ibrani yang merupakan Tim Advokasi untuk Demokrasi yang juga kuasa hukum Fatia mengatakan, kedua pegiat hak asasi manusia (HAM) itu telah menerima surat panggilan sebagai tersangka sejak Jumat, 19 Maret. Keduanya dipastikan akan hadir dalam pemanggilan itu.
"Untuk saudara Haris Azhar sendiri jam 10.00 WIB, untuk saudara Fatiya jam 14.00 WIB. Artinya ini satu panggilan yang sinergis, simultan karena bersama-sama," ujar Julius dalam konferensi pers yang ditayangkan secara daring usai penetapan tersangka tersebut.
Menambahkan pernyataan itu, Haris juga menyebut dirinya akan hadir untuk diperiksa jika tak ada halangan. "Hanya ingin menegaskan saja, saya akan, insyaallah, kalau sehat datang hari Senin," kata Haris.
"Kostumnya apa belum dipikirkan tapi, insyallah datang," imbuhnya.
Pastikan bukan kriminalisasi
Penetapan tersangka ini kemudian jadi sorotan. Polisi dinilai telah melakukan kriminalisasi terhadap Haris dan Fatia yang dianggap menyuarakan isu Papua lewat video yang kemudian diunggah ke akun YouTube milik Haris Azhar.
Adapun video itu bertajuk 'Ada Lord Luhut Dibalik Relasi Ekonomi-OPS Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!'.
Pada video tersebut, keduanya membahas hasil riset sejumlah organisasi seperti KontraS, Walhi, Jatam, YLBHI, Pusaka tentang bisnis para pejabat atau purnawirawan TNI AD di balik bisnis tambang emas maupun rencana eksploitasi daerah Blok Wabu di Intan Jaya, Papua.
Anggapan ini kemudian ditepis oleh Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Endra Zulpan. Dia menegaskan penetapan Haris dan Fatia sudah sesuai dengan fakta hukum yang diperoleh selama kasus berjalan.
"Enggak (melakukan kriminalisasi), lah. Kita bekerja berdasarkan fakta hukum. Makanya, kita harapkan semuanya mengikuti mekanisme yang ada termasuk mereka juga," kata Zulpan saat dikonfirmasi, Minggu, 20 Maret.
Zulpan menegaskan, penetapan tersangka ini telah sesuai dengan Pasal 184 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dalam pasal tersebut, dinyatakan bahwa alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
"Tentunya penyidik berdasarkan pasal 184 kuhp kita bekerja sesuai fakta hukum penetapan tersangka ada ketentuan yaitu 184 KUHP minimal dua alat bukti," urai Zulpan.
Diminta ada pendekatan restoratif
Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani juga angkat bicara soal penetapan tersangka ini. Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini berharap kasus hukum yang menjerat keduanya bisa ditangani dengan memegang prinsip pendekatan restoratif atau restorative justice.
Pendekatan restoratif adalah pendekatan yang lebih mengarah pada kodisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana maupun korban.
"Sebagai anggota Komisi III saya berharap kasus Fatia dan Haris Azhar ini bisa diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif meski sudah ada penetapan tersangka," kata Arsul dalam keterangannya, Minggu, 20 Maret.
Arsul mengatakan penyidik kepolisian dinilai sudah berupaya melakukan pendekatan restoratif dalam proses penyidikan yang berlangsung. Tapi langkah ini masih dianggap belum berhasil.
Sehingga, dia berharap ke depan, Kejaksaan selaku institusi penuntutan mengupayakan kembali pendekatan restoratif ini. Apalagi, Jaksa Agung ST Burhanuddin kerap mendorong perluasan penyelesaian perkara berbasis pendekatan restoratif.
"Harapannya, jangan sampai penegak hukum kita, termasuk jajaran peradilan, enggan membuka pendekatan keadilan restoratif karena kebetulan ini menyangkut seorang pejabat negara yang punya pengaruh di negeri ini," ucap Arsul.
Di sisi lain, lanjut Arsul, kasus ini juga sedikit banyak akan mempengaruhi penilaian kualitas demokrasi dan ruang mengkritisi pejabat publik. "Ini juga perlu dilihat oleh jajaran penegak hukum kita," pungkasnya.