Desakan Hipmi Agar Omnibus Law Harmoniskan UU Kehutanan dan UU Tata Ruang
Ketua BPP Hipmi Mardani H. Maming. (Foto: Twitter @BPPHIPMI)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah saat ini tengah menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law atau RUU Sapu Jagat. Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi), Mardani H. Maming berharap, RUU ini mampu menyelesaikan ketidakharmonisan Undang-Undang (UU) Kehutanan No.41/1999 dan UU Tata Ruang No.26/2007.

Pasalnya, tumpang-tindih dan ketidakharmonisnya kedua UU ini membuat investasi berjalan lamban. Tak hanya itu, dengan tak harmoninya kedua UU itu, Kepala Daerah, para pengusaha dan investor rawan bermasalah secara hukum.

“Kami minta agar kedua UU ini diharmonisasi. Sebab, investasi berjalan lamban karena ada masalah dua UU ini,” ujar Maming dalam keterangannya di Jakarta, Senin 6 Januari.

Parahnya lagi, kata Maming, kedua UU ini masing-masing punya peta. Sehingga bila izin yang dikeluarkan kepada pengusaha atau investor tidak sesuai dengan peta di salah satu UU, maka pengusaha kerap bermasalah secara hukum.

“Misalkan tidak sesuai dengan peta yang ada di UU Kehutanan, Kementerian terkait dan penegak hukum akan memperkarakan. Padahal peta itu sudah sesuai dengan UU Tata Ruang misalnya,” ujar Maming.

Ia mengatakan, untuk mengeluarkan izin lokasi, amdal, dan izin lainnya, Gubernur, Bupati, dan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) berpatokan pada UU Tata Ruang. Sehingga ketika Kepala Daerah mengeluarkan izin lokasi di atas Hutan Produktif, bisa saja bermasalah di kemudian hari. Sebab, kata Maming, dianggap tidak sesuai peruntukannya dengan peta di UU Kehutanan.

“Kepala Daerah bisa bermasalah secara hukum. Ini yang membuat Kepala Daerah kerap khawatir mengeluarkan izin, sesuai kewenangannya,” jelas Maming.

Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup dan penegak hukum kerap berpatokan pada UU Kehutanan. Tak hanya itu, berdasarkan kedua UU itu, Kementerian Agraria dan Tata Ruang mengeluarkan Hak Guna Usaha (HGU). Sedangkan Kementerian LH dan Kehutanan mengeluarkan mengeluarkan Hak Pengelolaan (HPL).

Masalahnya adalah kedua aturan ini membawa peta masing-masing, yang berbeda satu dengan lainnya. “Karena peta keduanya tidak singkron, banyak pengusaha dan investor enggan berinvestasi. Sebab HGU-nya nanti bisa dianggap melanggar peta yang sudah ada di UU Kehutanan. Bisa bermasalah secara hukum. Jadi pada takut. Sebab semua tidak jelas alas hak lahannya. Di sini letak ketidakpastian hukumnya,” papar Maming.

Tak hanya pengusaha, kepala daerah pun enggan dan takut mengeluarkan perizinan. Faktor inilah yang membuat banyak kepala daerah menundah demikian lama menerbitkan izin lokasi maupun IMB untuk investor.

Sebab itu, Hipmi berharap agar program Omnibus Law mampu menyelesaikan persoalan ini ke depan agar investasi berlari kencang. Bila masalah pertanahan di kedua UU ini tidak terselesaikan, Hipmi memastikan investasi tak akan lebih akseleratif.

“Sebab, sebelum berinvestasi, masalah lahan ini yang pertama kali diselesaikan oleh investor. Yang lain cuma ngikut,” ucap Maming.

Apalagi menurut Maming, sebanyak 32,6 persen penghambat investasi datang dari masaah perizinan, pengadaan lahan 17,3 persen, dan regulasi/kebijakan sebanyak 15,2 persen.

Sebelumnya, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahaladia menyebutkan sebanyak 1.500 Surat Keputusan (SK) menteri menghambat kemudahan investasi. Tumpang tindih dan tidak sinkronnya regulasi yang ada membuat para pengusaha dan investor rawan dikriminalisasi.

Bahlil Lahaladia menjelaskan hingga kini tingkat kemudahan berbisnis di Indonesia berada di urutan 73 menurut data Bank Dunia. Pemerintah sedang berupaya menggenjot peringkat kemudahan berbisnis naik ke level 50. Untuk itu, BKPM akan meminta pemangkasan regulasi di Kementerian dan Lembaga.

"Tingkat kemudahan investasi kita sekarang ini tingkat 73. BKPM jadi koordinator untuk perbaiki tingkat kemudahan. Targetnya minimal kita bisa di ranking 50. Kita akan memangkas regulasi dan prosedur yang banyak di K/L," ungkap Bahlil.