Bagi TII, Jaksa Agung Salah Kaprah, Pengembalian Uang Korupsi Tak Hapus Tindak Pidana
Jaksa Agung ST Burhanuddin/FOTO VIA ANTARA

Bagikan:

JAKARTA - Manajer Departemen Riset Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko mengatakan penerapan restorative justice atau keadilan restoratif bukan jadi solusi untuk mengurusi kasus korupsi dengan kerugian negara di bawah Rp50 juta.

Hal ini disampaikan menanggapi pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin yang mengatakan, pihaknya berupaya agar tindak pidana korupsi dengan nilai kerugian kecil diterapkan dengan keadilan restoratif. Sebab, pengusutan kasus semacam ini kerap memakan anggaran yang lebih banyak daripada kerugian yang ditimbulkan.

"Memang yang jadi perhatian adalah korupsinya kecil sementara biaya penangan perkaranya besar. Nah, solusinya bukan pada prinsip keadilan restoratif yang mengembalikan uang hasil korupsi tapi kembali pada aturan di mana pengembalian kerugian negara tidak menghapus tindak pidananya," kata Wawan kepada VOI, Rabu, 9 Maret.

Wawan mengatakan keadilan restoratif yang tersedia bagi pelaku korupsi berapa pun jumlahnya, hanya ada tiga yaitu hukuman badan berupa penjara, denda, dan uang pennganti.

"Sehingga penegakan hukum kasus korupsi kecil bisa saja dilakukan secara cepat, sederhana, dan berbiaya ringan tanpa menghilangkan tindak pidananya," tegasnya.

Wawan menilai, memberikan pengampunan bagi pelaku tindak pidana korupsi walau jumlah kerugian negaranya tak seberapa bukan sebuah langkah maju. Bahkan, dia menyebutnya sebagai cara yang keliru.

Apalagi, penerapan restorative justice ini sebenarnya lebih tepat jika menyasar pada tindak pidana ringan dan yang langsung berhubungan dengan rakyat. Sementara korupsi, kata Wawan, adalah kejahatan luar biasa yang dalam UU Tipikor disebutkan berapa pun kerugian yang ditimbulkan harus tetap dihukum secara tegas.

"Memberikan pengampunan terhadap pelaku tindak pidana korupsi adalah sebuah upaya keliru dan kemunduran dari wacana pemberantasan korupsi jika dihubungkan dengan indeks persepsi korupsi Indonesia yang masih berada di bawah rerata dunia saat ini," pungkasnya.

Korupsi Ikan Teri Istilah Jaksa Agung

Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin berpandangan, penanganan perkara tindak pidana korupsi yang memiliki nilai kerugian relatif kecil atau di bawah Rp50 juta adalah bentuk kerugian negara yang dilakukan secara legal.

Ia mencontohkan, perkara korupsi yang terjadi khususnya di wilayah Indonesia bagian timur, terlebih daerah kepulauan yang mana proses pemeriksaan dan persidangannya harus ditempuh melalui jalur darat, laut, dan udara sekaligus untuk menuju ibu kota provinsi guna menyidangkan perkara tindak pidana korupsi yang hanya berskala relatif kecil, sehingga biaya operasional yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kerugian negara yang hendak diselamatkan.

“Penanganan perkara korupsi berskala kecil tersebut juga bukanlah capaian yang patut dibanggakan, bahkan terkadang cenderung tidak dapat diterima oleh masyarakat,” kata Burhanuddin saat menjadi pembicara kunci dalam diskusi publik bertema “Keadilan Restoratif: Apakah Korupsi Rp50 juta Perlu dipenjara?” dilansir Antara, Selasa, 8 Maret

Kejaksaan Agung berupaya agar tindak pidana korupsi dengan nilai kerugian kecil diterapkan dengan keadilan restoratif. Kejaksaan telah mengeluarkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang diundangkan pada tanggal 22 Juli 2020. Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 ini adalah regulasi pertama di bawah undang-undang yang menerapkan prinsip restorative justice.

Jaksa menyebutkan, dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi, penerapan keadilan restoratif ini dimungkinkan dapat diterapkan untuk para pelaku tindak pidana korupsi yang perbuatannya tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara maupun yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, namun dengan nominal kerugian yang kecil.

Burhanuddin menambahkan, penjatuhan sanksi pidana, khususnya penjara bukanlah upaya balas dendam, melainkan proses edukasi pemasyarakatan dan penjeraan yang bertujuan agar pelaku menyadari kesalahan atas perbuatannya, sehingga penjatuhan pidana adalah upaya terakhir.

Sanksi pidana tidak harus selalu berupa penjara. Terdapat beberapa sanksi lain yang dapat diterapkan oleh para pelaku tindak pidana korupsi “kelas ikan teri” tersebut, misalnya dengan sanksi pidana denda yang setimpal, pencabutan hak-hak tertentu, atau perampasan barang.