Bagikan:

JAKARTA - Kasus meninggalnya seorang anak berinisial KS akibat dianiyaya sang ibu karena kesulitan menjalani belajar daring (online) membuktikan kekerasan anak selama masa pandemi COVID-19 perlu menjadi perhatian.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menyatakan, bentuk kekerasan terhadap anak yang paling sering dilakukan di masa pandemi COVID-19 adalah dicubit dan dimarahi.

Berdasarkan hasil survei KPAI, dicubit menjadi bentuk kekerasan fisik yang mendapat porsi paling besar dari jawaban responden anak sebesar 23 persen.

"Setelah itu, ada kekerasan lain yakni dijewer dengan persentase sebanyak 9 persen, dipukul sebesar 9 persen, dijambak sebesar 6 persen, ditarik sebesar 5 persen, ditendang sebesar 4 persen, dikurung sebesaar 4 persen, ditampar 3 persen, dan diinjak 2 persen," kata Listyarti kepada VOI, Rabu, 16 September.

Sementara, "dimarahi" merupakan bentuk kekerasan verbal atau psikis yang paling sering diterima anak, dengan porsi sebanyak 56 persen.

"Bentuk kekerasan psikis lain di antaranya dibandingkan dengan anak lain sebesar 34 persen, dibentak 23 persen, dipelototi 13 persen, dihina 5 persen, dan diancam sebesar 4 persen," tutur dia.

Survei ini dilakukan KPAI dengan melibatkan 25.164 sampel responden anak di usia sekolah, dalam rentang waktu tanggal 8 hingga 14 Juni 2020.

Paling banyak, kekerasan terjadi saat mendampingi anak belajar jarak jauh secara online. Namun, ada beberapa kasus kekerasan yang tidak terjadi saat anak belajar online.

"Pelaku kekerasan psikis dan fisik selama pandemic terhadap anak dilakukan oleh keluarga terdekat, seperti ibu, ayah, kakak atau adik, saudara lainnya, kakek atau nenek, dan asisten rumah tangga," ungkap Retno.