Eropa Tak Lagi Kategorikan COVID-19 Varian Alfa Sebagai VoC
Ilustrasi/Foto: Antara

Bagikan:

JAKARTA -  Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa (European Centre for Disease Prevention and Control/E-CDC) tidak lagi mengkategorikan COVID-19 varian Alfa (B1.1.7) sebagai daftar perhatian atau Variant of Concern (VoC).

Dilansir dari laporan mingguan di laman ecdc.europa.eu di Jakarta pada Selasa 22 Februari, E-CDC membuat klasifikasi baru dan melakukan de-eskalasi varian Alfa per 17 Februari 2022.

Dalam keterangan resminya E-CDC menyampaikan varian Alfa telah diturunkan eskalasinya berdasarkan sejumlah pertimbangan.

Pertama, varian Alfa yang sempat menimbulkan peningkatan gelombang kasus pada akhir 2020 dan awal 2021 itu dianggap otoritas kesehatan setempat sudah tidak lagi beredar di masyarakat.

Kedua, varian yang bermula dilaporkan dari Inggris itu telah lama beredar tanpa berdampak pada situasi epidemiologi secara keseluruhan.

Ketiga, bukti ilmiah menunjukkan bahwa varian tersebut tidak terkait dengan aspek klinik tertentu di Eropa.

Direktur Pasca-Sarjana Universitas YARSI Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan meskipun E-CDC tidak lagi mengklasifikasikan Alfa sebagai VoC, tapi sampai saat ini Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) masih menggolongkan Alfa sebagai VoC bersama varian Beta, Gamma, Delta dan Omicron.

"E-CDC melakukan de-eskalasi varian Alfa dan sehingga tidak lagi masuk sebagai VoC, Variant of Interest (VoI) atau Variant under Monitoring (VUM) di Eropa karena dua hal konkrit," katanya.

Pertama, kata Tjandra, sirkulasi varian Alfa jauh menurun di Eropa sesudah adanya varian Delta dan kedua bukti ilmiah amat terbatas tentang dampaknya pada imunitas yang ditimbulkan oleh vaksin.

Tjandra yang juga mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara periode 2018-2020 itu mengatakan perbedaan klasifikasi varian COVID-19 antara WHO dengan negara Uni Eropa memungkinkan terjadi.

Alasannya, Uni Eropa dan juga beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris dan lainnya membuat daftar VoC, VoI dan VUM sendiri yang disesuaikan dengan keadaan di negara maupun kawasan mereka.

Menurut Tjandra Indonesia juga dapat melakukan hal serupa, khususnya memelopori sejumlah negara di kawasan ASEAN untuk membuat klasifikasi mutasi virus berdasarkan dampaknya.

"Mungkin akan baik juga kalau Indonesia melakukan hal yang sama, atau setidaknya Indonesia dapat memelopori untuk membahas dan menetapkan VoC, VoI dan VUM khusus untuk kawasan ASEAN, sehingga sesuai dengan masalah yang kita hadapi di tempat kita serta penanganannya lebih terarah," katanya.

Hal tersebut, kata Tjandra, akan menunjukkan kepemimpinan diplomasi kesehatan Indonesia di kawasan regional dan internasional.

"Tentu bukan hanya tentang klasifikasi, tetapi akan baik kalau ASEAN juga ada program bersama yang antara lain ditandai dengan semacam 'ASEAN weekly epidemiological report on COVID-19' misalnya, yang dapat dipelopori oleh Indonesia," demikian Tjandra.