Pendiktean KPK Melalui Perpres
Gedung Merah Putih KPK. (Wardhany Tsa Tsia/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Polemik terkait revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum lama terjadi. Kini publik kembali dihadapkan dengan polemik Peraturan Presiden (Perpres) tentang KPK.

Pemerintah saat ini sedang menyusun tiga Perpres sebagai turunan UU Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK. Salah satunya adalah Perpres tentang Organisasi dan Tata Kerja Pimpinan dan Organ Pelaksana Pimpinan KPK.

Draf Perpres tersebut dinilai memuat beberapa pasal yang dinilai bermasalah yang bisa berefek pada independensi KPK. Sebab, di dalamnya mengatur bahwa pimpinan KPK merupakan pejabat negara yang berada di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Anggota Komisi III DPR Didik Mukrianto mengatakan, pada hakekatnya pemberantasan korupsi oleh KPK adalah mencegah dan mengembalikan keuangan negara dari perilaku korup. Sementara itu, pengelola keuangan negara adalah pemerintah. Sudah semestinya pemerintah diawasi KPK.

"Benar KPK dengan kewenangan yang sangat besar perlu diawasi agar tidak abuse of power. Namun pengawasnya juga harus independen dan bebas dari kepentingan kekuasaan," katanya, saat dihubungi, di Jakarta, Senin, 30 Desember.

Ketua DPP Demokrat ini menilai, konstruksi dewan pengawas yang diangkat oleh Presiden, menciderai hakekat pengawasan dalam konteks korupsi yang dilakukan KPK terhadap penggunaan keuangan negara.

Bagaimana mungkin, kata dia, KPK bisa efektif mengawasi penggunaan keuangan negara yang dikelola pemerintah, karena di sisi lain KPK diawasi oleh Presiden melalui dewas yang dipilihnya.

"Belum lagi, dalam draf Perpres yang beredar, yang menempatkan KPK sebagai pejabat negara setingkat menteri, yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala negara bisa bertentangan dengan UU? Kenapa? UU 19 tahun 2019 jelas menyatakan bahwa KPK menyampaikan pertanggungjawabannya kepada presiden, DPR dan BPK," tuturnya.

Apalagi, lanjut Didik, selama ini peran dan fungsi KPK sangat signifikan dalam menghadirkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi. Seperti lembaga negara lain, sebagai state auxiliary institution, KPK seharusnya diperkuat lagi.

"Terkait dengan draf Pepres KPK yang beredar, sangat jelas political will Presiden yang ingin 'mendikte' KPK. Sungguh logika yang salah dan mundur dalam pemberantasan korupsi. Apalagi perilaku korup di lingkungan pemerintahan semakin menjadi-jadi termasuk di Pemda," ucapnya.

Didik menyesalkan langkah yang diambil oleh Presiden. Ia menilai, harus diluruskan jika Perpres tersebut benar-benar ingin mengebiri kewenangan KPK. Bagaimana mungkin KPK sebagai organ negara yang juga sebagai state auxilary institution yang independen dalam menjalankan tugas dan kewenangannya memberantas korupsi akan dibatasi.

Lebih lanjut, Didik mengatakan, sumber potensi korupsi ini dari pengelolaan keuangan negara. Di mana pemerintah sebagai pengelola anggarannya. Jika KPK dikebiri dengan Perpres, maka dipastikan korupsi akan semakin meraja lela.

Belum lagi, katanya, dengan UU 19 tahun 2019 yang memberikan ruang kepada presiden untuk mengawasi KPK melalui Dewas yang dipilih oleh Presiden.

"Logikannya KPK mengawasi Presiden dalam mengelola anggaran negara, sekarang KPK diawasi oleh Presiden melalui Dewas. Belum lagi dalam draft Perpres yang mewajibkan  KPK bertanggung jawab kepada Presiden? Ketentuan pertanggungjawaban ini nyata-nyata bertentangan dengan UU KPK," jelasnya.

Sementara itu, draf peraturan presiden tentang KPK menuai kritik, terutama karena menempatkan pimpinan KPK di bawah Presiden. Menko Polhukam Mahfud Md mengaku, tidak masalah draf tersebut dikritik.

"Ya enggak apa-apa dikritik, nanti dilihat saja lah. Itu kan gampang nih, kita semuanya ingin baik, LSM tentu ingin baik, kita juga ingin baik gitu," kata Mahfud di Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin, 30 Desember, seperti dikutip detik.com.