Bagikan:

JAKARTA - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memaparkan dasar putusan nihil yang berbeda dari tuntutan jaksa yakni hukuman mati untuk terdakwa kasus korupsi PT Asabri, Heru Hidayat.

Salah satu pertimbangannya, karena dalam dakwaan hanya tertera Pasal 2 ayat 1 dengan hukuman maksimal seumur hidup. Selain itu, dalam dakwaan tak tertera Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor tentang hukuman mati. Jaksa sebelumnya menggunakan pasal itu untuk menuntut Heru Hidayat.

"Sehingga majelis hakim tidak dapat membuktikan unsur Pasal 2 Ayat 2 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, akan tapi majelis hanya membuktikan Pasal 2 Ayat 1," ujar majelis hakim dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa, 18 Januari.

Majelis hakim juga merujuk pada pasal 182 ayat 4 KUHAP yakni musyawarah pengambilan keputusan terkait vonis harus didasarkan surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti di sidang. Karenanya dakwaan sebagai batasan dan rujukan dalam pembuktian.

"Maka putusan yang dijatuhkan tidak boleh keluar dari dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. Surat dakwaan adalah pagar atau batasan yang jelas dalam memeriksa di persidangan bagi piha -pihak untuk penuntut umum agar tidak melampaui kewenangan," kata hakim.

Majelis hakim pun menyoroti pemakaian pasal 2 Ayat 2 soal hukuman mati oleh jaksa. Dalam aturan itu, hukuman mati diberikan jika tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu.

Misalnya, pada saat bencana alam nasional, pengulangan tindak pidana korupsi dan pada waktu negara dalam krisis ekonomi dan moneter.

Tetapi, dalam kasus dugaan korupsi dengan terdakwa Heru Hidayat dilakukan pada periode tahun 2012-2019. Majelis hakim berpendapat dalam kondisi itu tidak ada faktor atau alasan keadaan berbahaya.

"Penuntut umum tidak membuktikan kondisi-kondisi tertentu penggunaan dana yang dilakukan terdakwa pada saat melakukan tindak pidana korupsi. Berdasarkan fakta terdakwa melakukan tindak pidana korupsi pada saat situasi negara aman," katanya.

Selain itu, majelis hakim juga berpendapat jika alasan pengulangan tindak pidana korupsi (Tipikor) Heru yang jadi alasan pemberatan tidaklah terbukti. Heru sebelumnya telah dijatuhi hukuman seumur hidup dalam perkara korupsi  Jiwasraya berdasarkan keputusan PN Jakarta Pusat, Pengadilan Tinggi Jakarta dan Mahkamah Agung yang.

"Terdakwa telah menjalani sebagian atau baru dalam tipikor jiwasraya yang sudah berkekuatan hukum tetap tersebut. Tipikor dalam Jiwasraya berbarengan dengan tipikor yang dilakukan terdakwa dalam perkara PT Asabri sehingga lebih tepat dikategorikan Concursus Realis atau Merdaadse Samenloop bukan sebagai pengulangan tindak pidana," kata hakim.

"Oleh karena itu beralasan hukum untuk mengesampingkan tuntutan mati yang diajukan penuntut umum dalam tuntutannya. Karena tuntutan mati pasal 2 Ayat 2 sifatnya fakultatif artinya pilihan tidak ada keharusan untuk menjatuhkan hukuman mati," sambungnya.

Majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis nihil terhadap terdakwa kasus dugaan korupsi PT Asabri, Heru Hidayat. Vonis ini diberikan lantaran Heru telah dijatuhi hukuman maksimal pada kasus lainnya.

Vonis itu diberikan karena Heru Hidayat telah divonis pidana penjara seumur hidup di kasus korupsi Jiwasraya. Dalam kasus ini Heru dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana korupsi.

Meski demikian, Heru Hidayat pun diberikan sanksi tambahan yakni uang pengganti Rp12 triliun.