Pengacara Anggap Tuntutan Hukuman Mati Bos Trada Alam Minera Heru Hidayat Salahi Aturan
FOTO VIA ANTARA

Bagikan:

JAKARTA - Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat dituntut hukuman mati karena dinilai terbukti melakukan korupsi yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp22,788 triliun dari pengelolaan dana PT Asabri (Persero) serta pencucian uang.

"Menyatakan terdakwa Heru Hidayat terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan pemberatan secara bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dalam dakwaan primer dan kedua primer, menghukum terdakwa Heru Hidayat dengan pidana mati," kata Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Agung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin, 6 Desember.

Heru adalah satu dari tujuh terdakwa perkara dugaan korupsi pengelolaan dana PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) Persero yang dijadwalkan untuk menjalani sidang pembacaan tuntutan pada hari ini.

Selain dituntut hukuman mati, Heru Hidayat juga diwajibkan membayar pidana pengganti.

"Membebankan terdakwa dengan biaya pengganti sebesar Rp12,643 triliun dengan ketentuan jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 bulan sesudah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya akan disita oleh kejaksaan dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut dan jika terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk menutupi uang pengganti tersebut," kata jaksa.

Heru dinilai terbukti melakukan perbuatan dalam dua dakwaan, yaitu dakwaan pertama Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Tuntutan Dianggap Keliru

Kuasa hukum Heru Hidayat, Kresna Hutauruk, menilai hukuman mati diatur dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sedangkan dalam dakwaan kliennya, JPU tidak menyertakan pasal tersebut. Heru justru didakwa dengan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor serta Pasal 3 dan 4 UU TPPU.

"Sehingga bagaimana mungkin JPU menuntut Heru Hidayat di luar pasal yang ada di dakwaan. Tuntutan di luar dakwaan ini kan jelas tidak sesuai aturan, berlebihan, dan di luar wewenang JPU atau bisa dianggap abuse of power," kata Kresna dalam keterangan tertulis, Senin, 6 Desember malam. 

Selain itu, sambung Heru, pada Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor dan penjelasannya tentang keadaan tertentu dalam penerapan hukuman mati syaratnya adalah ketika negara dalam keadaan bencana alam, krisis moneter, dan pengulangan tindak pidana. Dalam perkara Heru Hidayat, syarat dan kondisi tersebut dinilai tidak ada.

"Dari awal Surat Dakwaan tentunya JPU sudah menyadari tidak mungkin menerapkan Pasal 2 ayat (2) ini kepada Heru Hidayat, makanya JPU tidak menyertakan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor ke dalam dakwaannya, kenapa sekarang tiba-tiba dalam tuntutannya malah menuntut mati," kata dia.

Kresna menilai alasan JPU soal kasus ini pengulangan tindak pidana adalah tidak benar. Tim pengacara Heru Hidayat meminta hakim memahami pengertian dari pengulangan tindak pidana dalam KUHP.

Kresna menyebut dalam KUHP disebutkan pengulangan tindak pidana dimaksudkan kepada orang yang pernah dihukum lalu kembali diadili karena mengulangi perbuatan yang sama. Sedangkan dalam perkara ini, Heru didakwa melakukan tindak pidana pada 2012-2019, sebelum kliennya dihukum kasus Jiwasraya.

Dia meminta JPU menegakkan hukum sesuai prosedur. Sebab tuntutan ini sudah di luar surat dakwaan dan dinilai sudah mencederai rasa keadilan dalam perkara tersebut, khususnya untuk Heru.

"Kami sangat meyakini dan berharap Majelis Hakim Yang Mulia tidak akan bertindak seperti JPU dalam membuat putusan yang di luar dakwaaan. Tentunya nanti dalam pembelaan kami, semua kejanggalan dan keanehan dalam perkara ini akan kami ungkap," tegas dia.

Di sisi lain, Kresna mengklaim kliennya selama persidangan tidak terbukti menerima aliran uang Rp12 triliun lebih seperti yang dituduhkan JPU. Heru bahkan diklaim tidak memberikan sesuatu apa pun kepada pejabat ASABRI.

"Selain itu menurut kami unsur kerugian negara juga tidak terbukti karena sampai saat ini ASABRI masih memiliki saham-saham dan unit penyertaan dalam reksadana serta BPK tidak pernah menghitung keuntungan yang pernah diperoleh ASABRI dalam penjualan saham periode 2012-2019, sehingga jelas tidak terbukti perbuatan yang didakwakan oleh JPU,” paparnya.