Mendesak Pemerintahan Jokowi Mengakui Prioritas Penanganan COVID-19 adalah Ekonomi Bukan Kesehatan
Presiden Jokowi (Twitter/@jokowi)

Bagikan:

JAKARTA - Penyebaran COVID-19 di Indonesia terus meningkat. Data per 28 Agustus menunjukan ada lonjakan kasus positif baru hingga menembus 3.003 dalam waktu 24 jam. Berkaca pada fakta ini, Ombudsman meminta pemerintah mengakui bahwa fokus penanganan COVID-19 bukan pada sektor kesehatan, melainkan penanggulangan risiko ekonomi.

Anggota Ombudsman RI Alamsyah Saragih mengatakan pemerintah harus terbuka pada publik bahwa ekonomi adalah prioritas Jokowi dan para pembantunya, ketika risiko infeksi dan kematian bahkan meningkat. "Sampaikan kepada publik, suka atau tidak suka memang lebih memprioritaskan ekonomi dengan risiko meningkatnya infeksius dan kematian," katanya dalam diskusi  bertema Jakarta dan Dunia Memerah Lagi, digelar Populi Center, Sabtu, 29 Agustus.

Alamsyah melihat, sejak awal saat kasus COVID-19 ditemukan di Tanah Air, pemerintah nampak kebingungan memilih prioritas kebijakan. Apakah akan mendahulukan keselamatan dan nyawa masyarakat atau perihal ekonomi dan politik.

"Pada saat itu pemerintah dihadapkan pada dua pilihan yang sulit melakukan komunikasinya kepada publik. Apakah mau menyelamatkan warga negara menghadapi COVID-19 ini, dan kemudian menangani kesehatannya sambil mempersiapkan bagaimana beradaptasi. Atau memilih suatu kebijakan selamatan ekonomi dan politik tidak boleh terguncang," tuturnya.

Pemerintah, kata Alamsyah, memilih untuk menyelamatkan ekonomi dan politik meskipun tahu bayaran dari kebijakan ini adalah manusia sebagai korbannya. "Saya melihat pilihan kebijakan pemerintah cenderung pada yang kedua ini, tapi kita kurang jujur untuk mengatakan itu karena memang berisiko," katanya.

Sebagai contoh, Alamsyah menyebutkan sejumlah kebijakan pemerintah yang terbilang membiarkan keselamatan nyawa masyarakat diserahkan kepada individu masing-masing warga negara.

"Itu terlihat dari beberapa hal yang dilakukan pelonggaran di awal, pada saat kita mengatakan hati-hati mudik dengan alasan bahwa orang di sini susah dikasih cuma Rp600 ribu insentif dari pemerintah, sehingga dibiarkan pulang ke kampung. Semua orang sudah tahu akan mulai jadi perluasan (penyebaran kasus COVID-19)," jelasnya.

Selain itu, kebijakan lain yang tidak mendukung rakyat ialah persoalan penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) hingga realisasi anggaran penanganan COVID-19 yang masih minim. Bahkam, skema penyaluran Bansos masih memakai pola yang lama, sehingga terlambat sampai ke masyarakat dan tidak tepat sasaran.

Sementara untuk persoalan penyerapan anggaran yang minim, pemerintah terlihat kaku dengan alur birokasi lama dan tata cara berhukum yang tidak tepat.

"Saya lihat pemerintah ini anggaram tidak tepat waktu, karena skema administrasi kita rumit dan cara pandang hukum kita tertinggal. Dalam situasi darurat orang masih sibuk dengan instrumen hukum, lupa menggunakan skema baru. Presiden tidak melakukan disituasi darurat, tidak kesampingkan aspek pidana. Lakukan perbaikan admintrasi, kalau ada kekeliuran wajar," katanya.