MATARAM - Polda Nusa Tenggara Barat menahan lima tersangka kasus korupsi proyek pembangunan dermaga Tahun Anggaran 2017 di Gili Air, Kabupaten Lombok Utara.
"Iya, benar, kelima tersangka sudah ditahan," kata Kabid Humas Polda NTB Kombes Artanto di Mataram dikutip Antara, Rabu, 12 Januari.
Penahanan kelima tersangka, sambung Artanto, merupakan tindak lanjut dari hasil penelitian jaksa perihal berkas perkara yang telah dinyatakan lengkap.
Karena itu, katanya, proses penyidikan kasusnya kini tinggal menunggu tahap dua, yakni pelimpahan tersangka dan barang bukti ke jaksa penuntut umum.
"Rencana tahap dua, pekan depan," ujarnya.
Lima tersangka yang menjalani penahanan kepolisian berinisial AA, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek; SU, pemilik perusahaan; dua konsultan pengawas berinisial LH dan SW; serta ES, pelaksana proyek.
ES sudah lebih dahulu menjalani penahanan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Mataram, di Kuripan, Kabupaten Lombok Barat. Tersangka ES menjalani penahanan di lapas karena kini masih berstatus sedang menjalani masa pidana untuk kasus korupsi berbeda di wilayah Jawa Timur.
Sedangkan empat tersangka lainnya menjalani penahanan di Ruang Tahanan Polda NTB. Mereka menjalani penahanan terhitung hari ini.
BACA JUGA:
Kuasa hukum salah seorang tersangka berinisial LH, Iskandar, mengatakan bahwa penahanan oleh penyidik kepolisian ini telah menunjukkan kliennya bersikap kooperatif.
"Jadi kami menghormati sikap penyidik menahan tersangka, dan ini bagian dari bentuk klien kami menunjukkan sikap kooperatif dalam perkara yang sedang dihadapinya," kata Iskandar.
Pengerjaan proyek fisik di salah satu kawasan objek wisata andalan Provinsi Nusa Tenggara Barat ini berasal dari Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun 2017.
Dalam proses lelang, pemerintah melepas dengan pagu anggaran Rp 6,7 miliar. Pemenangnya adalah perusahaan milik tersangka SU. Namun untuk pengerjaan proyek, dikendalikan tersangka ES dengan nilai kontrak Rp6,28 miliar.
Namun dalam progres pekerjaannya, muncul hambatan di tengah jalan karena alasan cuaca dan transportasi material menuju lokasi. Hal tersebut membuat pekerjaan molor hingga dilakukan adenddum.
Sampai pada akhirnya proyek tersebut dinyatakan selesai pada 29 Desember 2017. Namun kembali muncul masalah. Spesifikasi dan volume pekerjaan tidak sesuai dengan perencanaan dalam kontrak.
Meskipun demikian, pemerintah meresmikan pembangunannya di awal tahun 2018 dan biaya pekerjaan telah dibayar penuh.
Kasus ini telah memunculkan kerugian negara berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTB dengan nilai mencapai Rp1,27 miliar.