Janji Manis di Tengah Kisruh Bisnis Gelaran Musik
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

GIGI, God Bless, hingga Peachy! adalah musisi yang tertimpa sekelumit masalah dalam berbagai gelaran musik yang dihelat beberapa waktu belakangan. Dalam artikel "Nasib Musisi Kala Batal Mentas" kita sudah melihat apa yang terjadi pada mereka ketika batal mentas. Dalam artikel ini, kita coba pahami konsep cancel fee yang seharusnya bisa jadi jalan tengah di dalam permasalahan macam ini. Bagian dari Tulisan Seri khas VOI, "Mengusik Gelaran Musik".

Rentetan pembatalan konser di Indonesia yang terjadi dalam waktu satu bulan terakhir begitu menyita perhatian publik. Mulai dari konser Ari Lasso, lalu GIGI, kemudian Jakarta Rock Space (God Bless, Edane, NTRL, dan Jamrud), hingga Iwan Fals. Pembatalan ini tentu merugikan artis yang seharusnya tampil. Bukan cuma dari sisi waktu dan tenaga, tetapi juga soal finansial.

Luthfi, Ketua Badan Pemajuan Profesi dan Hubungan Antar Lembaga IMARINDO (Ikatan Manajer Artis Indonesia) mengatakan, yang menyebabkan acara batal biasanya soal administrasi. Untuk itu, IMARINDO menerapkan penalti khusus untuk event organizer (EO) yang membatalkan acara secara sepihak dalam klausul kontrak setiap artisnya.

Jika tidak ada hitam di atas putih, apalagi soal penalti, kerugian yang dialami si artis bakal lebih besar lagi. Karena sebelumnya mereka sudah kehilangan kesempatan bermain di event lain dan effort yang telah dikeluarkan untuk acara tersebut jadi sangat sia-sia.

"Uang yang sudah masuk menjadi hak kami, dan promotornya wajib melunasi sisa pembayaran. Untuk pem-bookingan jadwal baru, harus bayar lagi. Jika pembatalan menyangkut force majure, mau tidak mau harus diterima oleh promotor dan artis," kata Luthfi kepada VOI, Jumat, 29 November.

Lutfi menambahkan, dasar hukum terkait penalti ini adalah KUHP Perdata, karena tidak ada standar yuridis formil yang spesifik, seperti Hukum Dunia Hiburan misalnya.

"Klausal yang dipakai kemudian dicantumkan ke dalam kontrak kerja sama yang merupakan kesepakatan dua pihak, draf kontrak disusun oleh bagian legal dari kedua pihak, ditambah dengan adanya materai itu sudah memperkuat kedua pihak kedudukannya secara hukum (yuridis formil)," jelas Luthfi.

Sedikit berbeda dengan Luthfi, pengamat musik Denny MR – eks manajer Nicky Astria dan PAS Band - mengatakan, kerja sama antara manajemen artis dan penyelenggara acara memang harus ada tanda jadi (di luar booking fee dengan masa berlaku 30 hari) berupa uang sebesar 50 persen dari nilai kesepakatan. Tapi, tidak dengan pelunasan pembayaran sesuai nilai kontrak seperti yang dikatakan Luthfi.

“Secara logika, mereka (EO) kan melakukan pembatalan karena enggak sanggup melunasi pembayaran kepada si artis. Jadi kalau diminta untuk melunasi pembayaran sesuai nilai kontrak sebagai bagian dari penalti pembatalan ya enggak mungkin. Dia bisa aja kabur. Kan jelas mereka enggak punya uang. Saya lebih suka menyebutnya, uang tanda jadi yang sudah masuk adalah milik manajemen,” kata Denny MR.

Semua metode pembayaran, lanjut Denny MR, secara otomatis tercantum di kontrak. Pembayaran dilakukan per termin. Pertama, booking fee sebesar 10 persen yang berlaku selama 30 hari. Tetapi, pada tahap awal ini si artis belum terikat kontrak. Dan jika penyelenggara tidak menghubungi lagi maka booking fee menjadi milik manajemen artis.  Lalu, melangkah lagi ke pembayaran tanda jadi (DP) sebesar 50 persen dari total fee.

“Tahap ini sudah masuk dalam kesepakatan kontrak. Di situ juga ada persyaratan lagi. Apabila EO mengganti tanggal maka dia diwajibkan mengonfirmasi ke manajemen dalam periode tertentu (30 hari setelah penandatanganan). Kalau ada perubahan dalam 30 hari berarti kompromi dengan jadwal baru yang dimiliki si artis."

Denny MR kembali menjelaskan, jika dalam jangka 30 hari tidak ada perubahan, tanggal yang sudah disepakati di kontrak tersebut yang menjadi acuan. Tetapi, kalau perubahan tanggal pertunjukan baru dilakukan setelah 30 hari maka hal tersebut dikembalikan kepada kebijakan manajemen. 

"Tapi biasanya kalau berdasarkan kontrak itu, ya jadi batal, dan uang yang 50 persen menjadi milik manajemen,” tukasnya.

Berkaca pada Pengalaman

Pembatalan konser bukan terjadi sekarang saja. Luthfi - yang juga berprofesi sebagai vokalis band ska, Purpose Tiger Clan - pernah mengalami kejadian pahit pada awal tahun 2000-an. Saat itu, di satu event, Luthfi dkk sudah berada di lokasi. Tapi, event-nya sama sekali tidak terlaksana.

"Di Jatim, kami udah di kota tersebut tapi acaranya batal. Kami belum dibayar lunas, hotel belum dibayar, kami ditahan pihak hotel karena panitia kabur. Yang paling menyesakan, waktu di Pekanbaru. Kami sudah sampai sana, pas ke venue cuma ada umbul-umbul tapi panggung dan sound system enggak ada. Promotornya juga kabur," kisahnya.

Luthfi kemudian menyinggung insiden-insiden yang pernah dialami band-band lain di masa lalu. Sebut saja PAS Band dan Laluna di Medan pada era yang sama. Saat itu, promotor kehabisan uang untuk bayar honor artis. Untungnya, PAS Band sudah menggenggam tiket pulang pergi Jakarta-Medan-Jakarta. Tapi tidak dengan Laluna, mereka harus tertahan di Medan selama lima hari.

Sementara itu, GIGI pada tahun 94/95-an harus menunggu tiga hari di Makassar karena panitia kabur lantaran tidak bisa melunasi honor dan tiket pesawat pulang ke Jakarta.

Gitaris Edane, Eet Sjahranie menambahkan, sekitar tahun 1995 - saat formasi band ini masih digawangi vokalis Heri Batara dan bassis Iwan Xaverius - mereka pernah mengalami pembatalan yang disebabkan force majure. Saat itu hujan yang cukup deras 

"Tapi, panitia juga salah kalau gue bilang. Karena dia tidak mengantisipasi hujan yang turun. Dia tidak menggunakan atap... Pada saat gue sampai ke tempat, itu sudah mendung... Soundcheck belum dimulai, basah semua. Sudah, enggak ada yang berani (soundcheck). Jelang malam, (hujan) itu enggak berhenti," kisah Eet saat ditemui VOI di rumahnya di Cimanggis, Depok.

Untung saja, penyelenggara menjadwalkan ulang acara tersebut ke bulan berikutnya dan memberi kompensasi kepada Edane. Dari kejadian-kejadianan tersebut, banyak band yang mulai menggunakan official riders.

"Keputusan terburuk diambil lewat musyawarah untuk mufakat oleh kedua belah pihak, tidak bersikap arogan dari masing-masing pihak," kata Luthfi.

"EO di kita terkadang pekerjaannya tidak sesuai dengan pengalaman yang dimiliki sehingga pembicaraan manis di kontrak tidak sesuai saat eksekusi," tukas Denny MR.

Artikel Selanjutnya: Kurasi Gelaran Musik Itu Bernama YouTube-core