JAKARTA - Hadrah Daeng Ratu telah berkecimpung dalam perfilman Indonesia selama 13 tahun. Sejak debut dengan film pendek berjudul Sabotase pada tahun 2009, Hadrah memantapkan diri untuk menjadi sutradara. Langkah pertamanya sangat mantap, Sabotase meraih penghargaan sebagai Film Pendek Terbaik pada Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2009.
Namun, bukan berarti Hadrah langsung mendapat karpet merah ketika memutuskan untuk menjadi sutradara. Lulusan Institut Kesenian Jakarta angkatan 2005 dengan minat penyutradaraan ini tidak bisa langsung mendapat kesempatan menjadi sutradara film layar lebar.
Hadrah merangkak dari bawah, dari project kecil. Dari asisten sutradara di sinetron dan FTV pernah dijalaninya.
"Tugas akhir aku menang FFI tapi saat itu begitu lulus aku coba tempat lain sampai akhirnya gak langsung sutradarai film tapi ftv. Sampai akhirnya dapet kesempatan. Mindset aku saat itu apa yang aku dapetin aku terima," ujar Hadrah saat berbincang dengan VOI di Kemang, Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.
Rasa cinta pada karya audio visual membuatnya bertahan. Padahal, kecintaan itu disadarinya tanpa sengaja.
"Sebenarnya aku SMA tuh ikut ekstrakurikuler teater. Waktu itu aku sudah jadi sutradara untuk festival se-DKI Jakarta dari kelas 2 SMA sampai lulus dan kuliah masih teater. Waktu itu gak kepikiran masuk film, tapi saat itu senior aku banyak ngasi tahu akan jauh lebih berkembang di film karena masih bisa berteater," kenang wanita berhijab itu.
Atas dasar masukan tersebut, Hadrah masuk ke IKJ belajar, belajar film dari nol. "Aku bukan orang yang sebulan sekali ke bioskop, jadi memang aku belajar film dari aku kuliah," paparnya.
Karena belum menemukan rasa cinta, Hadrah mengikuti saran dosen untuk nonton satu hari satu film. "Basicnya aku sudah membuat adegan, menulis. Aku punya banyak cerpen, novel, suka mengkhayal. Ku pikir kenapa hobi yang aku suka ini diarahkan jadi profesi di masa depan. Aku rasa makin fokus dengan hobi dan pekerjaan jadi satu. Aku pilih jurusan penyutradaraan," kenangnya.
Setelah mendapat kesempatan untuk menjadi sutradara film layar lebar, langkah Hadrah tak terbendung. Dimulai dari Heart Beat (2015), Hadrah lantas membuat Super Didi (2016), Mars Met Venus (Part Cowo) (2017), dan Mars Met Venus (Part Cewe) (2017), dan total 11 judul hingga saat ini.
Di Indonesia, tidak banyak sutradara wanita yang produktif seperti dirinya. Seperti botol kosong, dia membiarkan semesta mengisi pengalaman bekerjanya.
"Aku gak mau mengkotakan 'ah pengen bikin film layar lebar atau festival'. Aku membiarkan semesta datang dan aku menerima apa adanya. Aku ga pernah nganggep diriku perempuan dan punya banyak kesempatan. Aku gak suka mengkotakan bias gender termasuk diriku. Mungkin kata perempuan di kepalaku itu aku hapus. Saya Hadrah bukan saya perempuan. Saya Hadrah aja," tegasnya.
Pengalaman bekerja sebagai asisten sutradara Garin Nugroho jelas memberikan kesempatan padanya untuk bekerja tanpa melihat gender. Ketika berdiri sendiri, Hadrah memegang erat pesan orang tuanya.
"Terserah nanti di sekitar saya laki laki tapi saya diri saya sendiri. Itu selalu aku pegang. Orang tua juga mendukung apapun yang dijalani asal jangan membuat gender atau hijab membatasi kamu berkreativitas. Selama niatnya baik, ibadah atau mencari rezeki, Tuhan tahu kok. Dari dulu mikir oh gue perempuan gimana nih di tengah laki-laki. Ya udah lupakan gender itu," tegasnya.
Kuatnya budaya patriaki di Indonesia jelas menjadi sandungan awal untuk Hadrah ketika meniti karir. Namun, dia mencoba untuk mencari jalan keluar agar bisa bertahan.
"Pastinya ada tantangannya. Aku pertama kali jadi sutradara 20 tahun bener bener lulus kuliah abis kerja aku ambil proyek. Aku sadar betul dari pada bentrok sama kru laki-laki, aku selalu membuat tim perempuan. Astrada 1, 2 skrip continuity itu perempuan. Aku jarang punya astrada cowok karena menghindari bentrok itu dan fokus semuanya," katanya.
Tantangan lainnya adalah wajah mudanya membuatnya dianggap tak berpengalaman sehingga kerap dipertanyakan oleh pemain senior. "Saat melihat sutradaranya muda, pemain senior tanya siapa sutradaranya. Pandangannya langsung beda," katanya.
اقرأ أيضا:
Belajar menjadi kunci agar bisa bertahan. Hadrah Daeng Ratu menyesuaikan diri dengan segala suasana yang dihadapinya.
"Dulu kan ftv itu pemain langsung dateng gak ada proses reading. Ada yang dateng dan lihat oh masih muda yah. Dari dulu ketika dikasih tantangan itu aku selalu bilang bisa. Produser ngasih apa ya aku bilang bisa. Menurutku gak ada yang gak bisa kita kerjain selama kita mau belajar," tegasnya.
Seiring waktu ternyata ketika berani melangkah, Hadrah bisa menghilangkan stereotip sutaradara adalah pekerjaan sulit untuk wanita. Fokus pada diri sendiri membuatnya lebih mudah melangkah.
"Karena mindsetnya bukan cuma orang lain. Kenapa kita ragu melangkah, kadang itu datang dari mindset kita sendiri. Kita yang membatasi langkah kita tanpa kita sadari. Mindset itu sebelum kita judge orang, kita balikin dulu ke diri kita. Kuatin dulu tiang diri kita insya Allah mau kemana aja jadi yakin langkah kita," paparnya.
Mempertahankan Lebih Sulit daripada Meraih
Kini, Hadrah Daeng Ratu telah menunjukkan pesonanya. Terbaru, film Until Tommorow baru saja dirilis di bioskop. Film tersebut adalah pengendapan perasaannya saat dikelilingi rasa kehilangan karena pandemi COVID-19.
"Kita butuh film yang didedikasikan buat orang yang berjuang sampai titik akhir. Pas kita lihat cerita ini yang viral bisa nih kita jadiin ikon buat apa yang menjadi keresahan kita di tengah pandemi. Memang case-nya beda tapi film ini bisa untuk banyak orang," katanya.
"Kesedihan kita bahwa kehilangan itu bukan pada saat kehilangan tapi saat detik detik kalau kita tahu waktu kita pendek sama dia. Lahirlah film ini. Kenapa judulnya Until Tomorrow, kita sempat dua tahun lalu di instagram setiap orang jaman dahulunya pribadinya terus hashtag #untiltomorrow. Kita cuma pengen sampe besok ketika kita saling mencintai itu harapan selalu ada. Besok kasih yang terbaik. Mencintai itu seakan ini hari terakhir. Pasti kita kasih yang terbaik," lanjutnya.
Hadrah tak bisa memungkiri bahwa sebagai wanita perasaannya berkaitan dengan pilihan film yang disutradarainya. Sering kali Hadrah dibuat emosional oleh cerita yang dibuatnya sendiri.
"Aku yang pasti pertama mengandalkan rasa maksudnya sebagai sutradara aku orang yang sensitif menyimpan banyak rasa di sekitar aku dan rasa itu yang aku tuang ke film ini. Kita pengen kesedihan itu kadang tidak dengan airmata. Hal kecil yang sebuah perhatian aja bisa jadi menyedihkan. Banyak banget," paparnya.
Setahun terakhir, Hadrah banyak berkutat dengan cerita drama dalam film dan serial. Dia belajar mengolah kembali perasaannya untuk menyampaikan kesedihan supaya penonton tapi penonton juga dapat inspirasi semangat. Demikian yang dilakukannya untuk film Until Tommorow.
"Seemosional itu karena satu aku punya pengalaman emosional situasi ini. Aku pernah sakit parah seperti sarah dan aku juga pernah merawat orang sakit dan tahu rasanya beban berat bukan cuma orang sakit tapi yang merawat juga tidak mudah. Karena kita tahu kita bakal kehilangan," katanya.
Film Until Tommorow, lanjutnya, menawarkan banyak hal yang menyentuh. "Banyak hal yang kita jalani jadi kenangan tapi semua itu bukan berarti hidup kita berhenti. Hidup kita harus jalan, semangat sampai besok," katanya.
Setelah berhasil sampai pada titik saat ini, Hadrah Daeng Ratu kerap dipandang nyaman dengan kesuksesannya. Padahal, tantangannya tidak berhenti di titik ini.
"Nah itu dia. Orang-orang bilang udah jadi Hadrah enak tapi menurut aku tantangan tidak berhenti sampai di situ. Aku gak mau jadi orang cepat puas sementara dari awal udah kerja keras banget nih mempertahankan," katanya.
Kini, Hadrah bisa menyeleksi tawaran yang diterimanya. Dia mencari cerita yang dikuasai dan dekat dengannya.
"Sebisa mungkin aku selalu mengambil proyek yang lumayan dekat sama aku, selektif, ada tantangan, bukannya milih tapi makin ke sini aku lebih seleksi kalo ada satu hal atau menyampaikan hal baik ya itu yang akan aku ambil," papar Hadrah.
Ke depan, dia ingin lebih banyak memberikan pengalaman kesetaraan gender dalam sinema. Dia tak ingin perempuan selalu menjadi korban.
"Aku justru dari kuliah mengagumi sutradara perempuan. Di film itu sterreotip perempuan selalu jadi korban, tokoh yang paling naas karena ya kita tidak memungkiri bahwa subyektivitas patriarki lebih kuat. Penulis dan sutradara laki lebih banyak. Okelah perempuan memang punya banyak titik yang terlihat lemah tapi di balik titik itu dia punya hal yang disuarakan. Gak papa jadi lemah tapi lemah itu jadi kekuatan yang dihadirkan oleh perempuan," tegasnya.
Terlalu berperasaan kerap menjadi batu sandungan pada karir perempuan. Sebagai sutradara, Hadrah membaliknya. Kelemahan itu justru menjadi kekuatannya.
"Perempuan kan memang 70% semuanya berdasarkan perasaan yang pasti itu menjadi kekuatan menurutku. Kekuatan dalam berkarya. Sensitivitas kepekaan itu menjadi nilai plus yang menurut aku perempuan punya lebih dari laki-laki," katanya.
Hadrah ingin menjadi bagian majunya perfilman Indonesia. "Aku sih optimis banget maksudnya setelah film Parasite berapa tahun lalu menang Oscar, aku melihat itu jadi harapan buat film asia lebih maju termasuk Indonesia. Film tidak hanya didominasi Hollywood tapi negara lain pun bisa berkembang apalagi kita juga semakin terbuka pasar saham, investasi asing, dan harusnya kita bener bener bisa manfaatkan untukk berkreativitas lebih banyak," katanya.
Bernagkat dari pengalaman pribadinya, Hadrah berharap produser juga percaya pada sutradara muda. Dia yakin banyak sutradara muda yang bertalenta hanya saja tidak mendapat pengalaman untuk mengembangkan dan menunjukkan bakatnya.
"Oke sutradara senior mungkin jauh lebih berpengalaman. Tapi ide gila, segar itu dari anak muda banyak banget. Mereka hanya butuh diarahkan, didampingin, dikasih kesempatan," harapnya.
Jalan panjang membentang, Hadrah tak mau jauh dari film. "Bikin film yang bisa membuat orang ketika nonton itu mereka membawa sesuatu yang lebih baik dan bisa digunakan di hidup mereka. Aku pengen bikin film yang menginspirasi orang apa pun genre tapi selalu bisa diselipkan hal inspiratif, hal yang membuat orang berpikir tentang hidup mereka, hal yang membuat orang terus melangkah untuk hidup mereka. Entah jadi sutradara, atau produser atau rumah produksi sendiri. Harapannya aku ingin bikin film karena ini dunia aku jadi aku ingin hidup di sini dan dari sini," tutupnya.
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)