Suara Partai Demokrat Bisa Melejit 300 Persen di Pemilu 2009, PDIP Bongkar Kondisi Sesungguhnya di Lapangan
JAKARTA - Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto blak-blakan membongkar data penelitian mengenai berbagai keanehan dalam pemilu saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih berkuasa.
Berbicara secara daring, Minggu 18 September, Hasto malah bilang dugaan kecurangan pemilu justru begitu terasa ketika SBY berkuasa.
Kata Hasto, PD adalah contoh kehadiran partai elektoral yang dipengaruhi gelombang reproduksi politik Amerika Serikat di Indonesia. PD, pada 2009, berhasil mendapat kenaikan suara 300 persen dibanding raihan di Pemilu 2004.
"Sistem multipartai seperti Indonesia yang sangat kompleks dengan intensitas persaingan yang sangat tinggi, sebenarnya tidak memungkinkan bagi parpol seperti Partai Demokrat untuk mengalami kenaikan 300 persen pada Pemilu 2009 lalu. Ini adalah suatu anomali di dalam pemilu," kata Hasto.
Menurut Hasto, jurus kemenangan PD itu adalah memadukan jurus pemenangan politik model Amerika, Thailand, dan Afrika, yang dirasionalisasikan melalui berbagai politik citra dan bandwagon effect.
"Dalil tim SBY saat itu kan, kemenangan dapat diperoleh sejauh seluruh persyaratan terpenuhi, termasuk penggunaan instrumen negara untuk menang. Ini yang harus dilihat pada tahun 2009, saat itu kami bersama dengan Gerindra yang juga datang ke KPU mempersoalkan hal-hal tersebut," kata Hasto.
Hasto lalu memaparkan beberapa faktor yang terjadi di lapangan pada saat itu. PD meniru strategi Thaksin di Thailand, dengan penggelontoran USD 2 milliar dana untuk kepentingan elektoral dari Juli 2008 hingga Februari 2009. "Sehingga menurut Marcus Mietzner, elektoral Demokrat dan Pak SBY terjadi skyrocketing. Ini kajian akademis," kata Hasto.
Yang kedua adalah sistem pemilu tanpa nomor urut, yang disertai bandwagon effect melalui survei dan pencitraan. Ada pula penggunaan instrumen negara.
"Ini kan model Amerika. Penyusupan agen partai ke KPU, oknum aparatur negara, ini model Afrika. Buktinya kan seperti pak Anas Urbaningrum, ibu Andi Nurpati yang kemudian direkrut ke Partai Demokrat," kata Hasto.
"Kemudian, manipulasi daftar pemilih, itu luar biasa, ini juga zaman Pak SBY. Dimana, di zaman Pak Harto saja, tak pernah melakukan manipulasi DPT. Ini DPT dimanipulasi secara masif. Belanja iklan juga, ini duitnya dari mana?" tambah Hasto.
Dari strategi kebijakan, saat itu ada kenaikan harga BBM. Kondisi era SBY berbeda dengan jaman Jokowi saat ini. Saat menjabat, SBY mewarisi kondisi fiskal yang baik hasil kerja Pemerintahan Megawati Soekarnoputri, dengan defisit di bawah 1 persen. Saat itu, terjadi kestabilan moneter dan keuangan, krisis IMF juga diselesaikan.
اقرأ أيضا:
"Tapi kemudian ternyata di balik kenaikan BBM itu justru terjadi suatu politisasi yang luar biasa bagi kepentingan elektoral. Ini ada kajian ilmiahnya. Bagi mereka yang membantah, nanti harus dibantah juga secara ilmiah. Ini mencakup BLT, raskin, dan PNPM. Nah, ini dari Markus Mietzner, model dana tunai langsung ke pemilih, seperti yang dilakukan Thaksin, merupakan jurus utama kemenangan Partai Demokrat," kata Hasto.
Juni 2008, survei menunjukkan elektabilitas PD hanya 8,7 persen, jauh di bawah PDI Perjuangan sebesar 24,2 persen. Pada saat bersamaan, elektabilitas Megawati 5 persen di atas SBY.
Para analis politik saat itu sependapat bahwa itu adalah akhir dari era SBY karena rakyat lelah dengan kepemimpinan yang tidak memberikan inspirasi. Hasto lalu memaparkan data kenaikan popularitas dan elektabilitas SBY dan PD pada 2009, yang oleh Markus Mietzner disebut sebagai 'skyrocketing'.
"Karena dari bulan Juni 2008 sampai April 2009, digunakan sebesar 2 miliar US dolar, ini hasil penelitian, dipakai dari politik anggaran negara untuk kepentingan elektoral. Maka kemudian terjadi skyrocketing, menurut Marcus Mietzner, dari 25 persen menjadi 50,3 persen. Ini yang kemudian menciptakan kerusakan demokrasi kita karena diikuti oleh para kepala daerah kita," katanya.
Dan SBY bermanuver lagi dengan mengumumkan langsung penurunan harga BBM. Dan hal itu dipolitisasi sebagai hasil kerja pribadi, bukan sebagai dampak pengaruh kondisi ekonomi internasional yang merupakan alasan sebenarnya. "Ini juga untuk kepentingan elektoral," imbuhnya.
Sementara di era SBY itu, Blok Cepu malah diserahkan dari Pertamina ke Exxon yang merupakan perusahaan asing. Berbeda dengan Presiden Jokowi yang justru mengamankan sektor hulu energi dengan mengakuisi Blok Mahakam dan Blok Rokan. Langkah Jokowi ini demi membangun kedaulatan energi serta hilirisasi energi. "Pak SBY 10 tahun sama sekali justru membuat kita tergantung asing," ujar Hasto.
"Bahkan beban subsidi pak Jokowi saat ini yaitu impor LNG, itu akibat kebijakan Pak SBY ketika melakukan perubahan subsidi dari minyak tanah ke gas LPG, tetapi tidak diikuti dengan pembangunan pabrik LPG di Indonesia. Akibatnya kita menjadi tergantung kepentingan asing. Itu jumlahnya kurang lebih 100 triliun," tambah Hasto.
Hasto lalu memaparkan data soal jumlah anggaran negara terkait dengan 'operasi khusus' di pemilu 2009 lalu.
"Jadi ini ada data-datanya semua. Dan ini kan yang tidak dilakukan oleh Presiden Jokowi. Kemudian, bagaimana Pak SBY bisa mengatakan kalau Pak Jokowi itu batil, Pak Jokowi itu jahat, merencanakan kecurangan pemilu?" tegas Hasto.
Hasto lalu menjelaskan soal dugaan kecurangan DPR di berbagai daerah di Indonesia. Lalu berbagai tim yang dibentuk untuk menyukseskan SBY dan PD dengan menggerakkan elemen-elemen negara.
"Jadi mohon maaf Pak SBY, kecurangan itu justru terjadi pada periode bapak, bukan pada saat Pak Jokowi. Kalau PDI Perjuangan curang, naiknya kami sudah sesuai hasil survei, udah 27 persen sebagaimana hasil survei. Perolehan kami hanya 18 koma sekian persen. Tidak jauh berbeda dengan pemilu sebelumnya."
"Dan kemudian yang menyedihkan, itu dokumen-dokumen pemilu 2009 dihancurkan, sampai sekarang kita tidak bisa punya data pemilu sampai ke tingkat TPS, karena itu semua dihacurkan. Jadi untuk menutup jejaknya," pungkas Hasto.