Dampak Penundaan Perjanjian Ekstradisi, Inggris Bisa jadi Surga bagi Buronan Hong Kong
JAKARTA - Inggris akan menjadi "surga" bagi warga Hong Kong yang dianggap terlibat dalam protes anti-pemerintah pada 2019. Hal tersebut disampaikan langsung oleh otoritas Hong Kong di tengah rencana Inggris menunda perjanjian ekstradisi dengan Hong Kong.
Melansir South China Morning Post, Senin, 20 Juli, laporan tersebut muncul setelah Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab mengindikasikan akan mengungkap penundaan perjanjian di parlemen, menyusul Undang-Undang (UU) Keamanan Nasional diberlakukan untuk Hong Kong pada 30 Juni. Anggota parlemen di Inggris khawatir pengaturan ekstradisi dapat dieksploitasi Hong Kong untuk melakukan penganiayaan politik di masa depan.
Sejak UU Keamanan Nasional disahkan, pemerintah Inggris juga telah mengumumkan akan menawarkan hak tinggal yang lebih luas, yang mana dapat membuka jalan menuju kewarganegaraan kepada pemegang paspor Luar Negeri Nasional Inggris (BNO).
Setidaknya dua pengunjuk rasa anti-pemerintah yang menghadapi tuduhan kriminal telah dicegat di bandara Hong Kong sejak itu. Pencegatan dilakukan ketika mereka mencoba menaiki penerbangan menuju London.
Mantan Menteri Keamanan Hong Kong Regina Ip Lau Suk-yee mengatakan: Saya pikir penangguhan itu dimaksudkan untuk melindungi para buron yang terlibat dalam kerusuhan tahun lalu dan pelanggaran kriminal lainnya yang diburu oleh polisi kami.
Sebuah sumber dari pejabat pemerintah, yang meminta untuk tidak dicantumkan namanya, mengatakan pemerintah Hong Kong tidak terkejut dengan penangguhan ekstradisi sejak Inggris menawarkan hak tinggal kepada pemegang paspor BNO.
Paspor BNO
Sedikit penjelasan. Paspor BNO pertama kali dikeluarkan pada 1987 dan ditutup pendaftarannya pada 1997. Di bawah aturan saat ini pemegang paspor BNO diizinkan untuk berada di Inggris hingga enam bulan. Mereka yang memegang paspor BNO diberikan perjalanan bebas visa ke 118 negara.
Beberapa aktivis Hong Kong telah terbang ke Inggris. Salah satunya seorang wanita berusia 17 tahun. Namun, ia dicegat di Bandara Internasional Hong Kong pada Jumat, 17 Juli setelah mencoba mendapat jaminan karena diduga menyerang seorang petugas pada protes anti-pemerintah pada September 2019.
Awal Juli, polisi naik pesawat Cathay Pacific yang akan terbang menuju Inggris untuk menangkap seorang pria yang dituduh menikam seorang perwira dalam protes UU Keamanan Nasional. Dia didakwa melukai seseorang dengan niatan.
Inggris akan menjadi anggota negara Five Eyes ketiga yang memutuskan pengaturan ekstradisi dengan Hong Kong. Kanada dan Australia sebelumnya menangguhkan perjanjian mereka, dengan alasan khawatir akan ada penganiayaan politik. Selandia Baru mengatakan pihaknya menilai kembali pengaturan itu sebagai bagian dari 'peninjauan' hubungannya dengan Hong Kong.
Mantan Direktur Penuntutan Publik Grenville Cross menyebut langkah Inggris tersebut sebagai "langkah mundur". Dia juga mengatakan keputusan Inggris tampaknya telah didorong oleh kepentingannya untuk berpihak pada AS untuk prospek ekonomi yang lebih baik setelah keluar dari Uni Eropa.
Berbeda dengan Johnny Patterson. Direktur Hong Kong Watch, sebuah kelompok yang berbasis di Inggris yang memantau hak asasi manusia menyebut keputusan Inggris sudah sangat tepat.
“UU Keamanan Nasional, seperti RUU Ekstradisi benar-benar menghancurkan perlindungan konstitusional yang melindungi hak asasi manusia dan supremasi hukum di Hong Kong,” katanya, seraya menambahkan bahwa Inggris tidak dapat lagi menjamin bahwa orang yang diekstradisi ke Hong Kong akan menerima pengadilan yang adil.
Foto: Unsplash Chris Lawton