Kilang Minyak yang Tak Kunjung Dibangun

JAKARTA - Presiden Jokowi saat pertama kali dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia pada 2014 lalu sempat bermimpi akan membangun kilang minyak demi memenuhi kebutuhan konsumsi bahan bakar di Tanah Air. Namun nyatanya, sampai ia terpilih kembali menjadi Presiden RI di 2019 ini, tak satu pun kilang minyak yang sudah selesai dibangun.

Kilang-kilang yang dimaksud Jokowi adalah empat proyek refinery development master plan (RDMP) dan dua proyek pembangunan kilang baru atau grass root refinery (GRR). Keempat proyek RDMP tersebut adalah kilang Cilacap (Jawa Tengah), Balongan (Jawa Barat), Balikpapan (Kalimantan Timur), dan Dumai (Riau). Sementara, dua kilang baru yang hendak dibangun adalah kilang Tuban (Jawa Timur) dan Bontang (Kalimantan Timur). Secara keseluruhan, investasi yang dibutuhkan untuk pembiayaan megaproyek ini berkisar Rp 500 triliun sampai Rp 600 triliun.

"Masa kita 34 tahun nggak pernah yang namanya bangun kilang minyak, kalau kita bisa bangun kilang minyak itu nanti turunannya banyak sekali, petrokimia kita nggak usah impor," ujar Jokowi dalam sambutan acara Peresmian Pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional RPJMN 2020-2024 di Istana Negara, Jakarta, Senin 16 Desember.

Jokowi bahkan jengkel karena hingga saat ini intruksinya belum sama sekali dikerjakan. Menurutnya, pembangunan kilang minyak penting untuk menghindari impor petrokimia yang besar.

"Impor petrokimia ini besar sekali, Rp 323 triliun impor kita petrokimia," jelas Jokowi.

Menurut Jokowi, hal ini terjadi karena masih ada oknum yang senang jika Indonesia terus-terusan impor. "Masih ada yang senang impor minyak, saya pelajari detail, tidak benar ini. Avtur masih impor, padahal CPO bisa jadi avtur. Kok kita senang impor? Karena ada yang hobi impor, ekonomi kita mandeg gara-gara hal seperti ini," jelasnya.

Sebelumnya, Jokowi pernah memaparkan kecurigaannya soal masih adanya mafia-mafia migas yang ada di belakang macetnya pembangunan kilang. "Minyak hobinya impor, karena apa? Karena untungnya besar," tuturnya.

Pengamat Energi Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhy pernah mengatakan bahwa, pembubaran Petral, anak perusahaan Pertamina yang diyakini sebagai sarang mafia migas, tidak serta-merta melenyapkan mafia migas.

"Mereka masih saja gentayangan dalam pemburuan rente, dengan menggunakan beberapa modus. Salah satu modusnya adalah upaya menghambat secara sistemik pembangunan kilang minyak, agar volume impor BBM semakin meningkat. Peningkatan volume impor BBM menjadi sasaran empuk mafia migas dalam memburu rente," jelasnya.

Ia menambahkan, selama bertahun-tahun, Pertamina tidak pernah membangun Kilang Minyak sama sekali. Padahal kilang yang dioperasikan selam ini merupakan kilang-kilang tua-renta. 

Sebagai gambaran, saat ini Pertamina hanya memiliki enam unit kilang minyak dengan total kapasitas 1,04 juta barel per hari (bph). Keenam kilang tersebut adalah Kilang Dumai dengan kapasitas 170.000 bph, Kilang Plaju 133.700 bph, Kilang Cilacap 348.000 bph, Kilang Balikpapan 260.000 bph, Kilang Balongan 125.000 bph, serta Kilang Kasim 10.000 bph.

Rata-rata kilang minyak tersebut sudah berusia tua, seperti Kilang Plaju dan Kilang Balikpapan yang sudah dibangun sejak zaman penjajahan Belanda. Akibat termakan usia, kilang-kilang ini sudah tak bisa beroperasi maksimal, teknologinya sudah tertinggal, serta tidak efisien.

Dari enam kilang yang ada itu, kapasitas kilang didesain mencapai 1,04 juta barel per hari (bph), namun produksi BBM yang dihasilkan saat ini hanya sekitar 820.000 bph. Padahal kebutuhan konsumsi BBM dalam negeri mencapai 1,68 juta bph. Artinya, sekitar separuh kebutuhan BBM dalam negeri dipasok dari impor.

Menurut data Pertamina, dari enam unit pengolahan tersebut, hanya Unit Pengolahan IV Cilacap yang memiliki kapasitas produksi cukup besar, yaitu 348.000 bph, dan termasuk kilang dengan fasilitas terlengkap. Kilang ini sangat strategis karena memasok 34% kebutuhan BBM nasional atau 60% kebutuhan BBM di Pulau Jawa.

Menurut Fahmy, bukannya tidak ada upaya Pertamina sama sekali untuk membangun kilang baru, namun setiap kali upaya membangun kilang minyak selalu saja muncul hambatan sistemik, yang dapat membatalkan realisasi pembangunan kilang minyak baru.

"Bahkan, beberapa investor sudah menyatakan komitmen untuk bekerja sama dengan Pertamina untuk membangun kilang minyak baru, lagi-lagi selalu gagal di tengah jalan," jelas Fahmy.

Ia menuturkan, ada indikasi bahwa mafia migas berada di balik kegagalan dalam membangun kilang minyak baru, maupun proyek RDMP. Hasil kajian Tim Anti Mafia Migas menemukan adanya hambatan sistemik pembangunan kilang baru tidak hanya di Pertamina saja, tetapi juga muncul di beberapa Kementerian terkait.

"Akibat ulah mafia migas tersebut, rencana pembangunan kilang minyak baru dalam kurun waktu puluhan tahun selalu mengalami kegagalan. Tidak berlebihan dikatakan bahwa siapa pun yang ikut berperan dalam menghambat pembangunan kilang minyak baru merupakan bagian dari mafia migas," tutur Fahmy

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan tak terlalu setuju dengan pidato Jokowi terkait belum dibangunnya kilang minyak selama Jokowi menjadi Presiden. "Memang, pembangunan belum selesai, akan tetapi tahapan-tahapan pembangunan di beberapa kilang tengah dilakukan," ujarnya kepada VOI, Selasa 17 Desember.

Mamit menyebut, milestone kilang Balikpapan sudah pada proses konstruksi. Diharapkan, selesai pada 2023 dengan peningkatan 100 ribu barel per hari. Dengan peningkatan tersebut, ke depan, total produksi akan mencapai 360 ribu barel, karena saat ini kapasitas terpasang di Balikpapan mencapai 250 ribu barel.

“Sedangkan di Tuban Pertamina sudah bekerja sama dengan Rosneft, yaitu dengan adanya penandatanganan basic engineering design (BED). Ini merupakan langkah sangat maju,” jelasnya.

Meski begitu, ia menganggap ucapan Presiden Jokowi memang untuk mendorong agar Pertamina bisa lebih terpacu dalam pembangunan kilang minyak. Dirinya mengaku tetap optimis, proyek RDMP dan GRR atau kilang baru bisa mendukung kemandirian energi. Melalui RDMP dan GRR, imbuhnya, produksi dalam negeri meningkat dan impor berkurang.