AS Usir Mahasiswa Asing Menyusul Kebijakan Banyak Kampus Permanenkan Studi Daring

JAKARTA - Mahasiswa internasional yang sedang menimba ilmu di Amerika Serikat (AS) terancam harus meninggalkan negara itu. Jika tidak, opsi deportasi akan dilakukan. Situasi ini dipicu oleh kebijakan pemberlakuan kelas daring secara permanen.

Disampaikan oleh Imigrasi dan Penegakan Bea Cukai AS (ICE), kebijakan permanen kelas daring telah diambil banyak universitas di AS. CNN melaporkan pada Kamis, 9 Juli, langkah ini dapat memengaruhi ribuan mahasiswa asing yang belajar di universitas atau berpartisipasi dalam program pelatihan, serta studi non-akademik atau kejuruan.

Universitas-universitas mulai membuat keputusan untuk beralih ke kelas daring akibat pandemi COVID-19. Di Harvard, misalnya, semua instruksi pembelajaran akan dikirim secara daring. Untuk mahasiswa internasional, hal tersebut membuka pintu gerbang bagi mereka untuk meninggalkan AS.

Brad Farnsworth, Wakil Presiden American Council on Education, menyebut pengumuman itu mengejutkan banyak pihak. Ia juga mengatakan bahwa ia melihat pengumuman itu sebagai bagian dari pola pergerakan besar pemerintah yang belum tepat.

"Ini membuat saya berpikir akan ada kecemasan yang dihadapi mahasiswa internasional. Dan bagi mereka yang masih memikirkan ke mana akan berkuliah pada musim gugur, saya pikir ini dapat mendorong mereka untuk belajar di universitas di negara lain," katanya.

Mahasiswa Asia

Lebih dari setengah mahasiswa internasional di AS berasal dari Asia. Pada masa akademik 2018-2019, 370 ribu siswa berasal dari China, 202 ribu dari India, dan 52 ribu dari Korea Selatan. Seorang mahasiswa internasional, Tianyu Fang mengaku khawatir akan masalah tersebut.

Dalam dua bulan, Tianyu Fang yang berusia 19 tahun akan memulai semester pertamanya di Universitas Stanford, California. Sekarang, warga negara China ini tidak yakin apakah dia akan berhasil.

Sekarang, Fang sedang mempertimbangkan apakah dia ingin membayar sekitar 60 ribu dolar AS per tahun untuk belajar jarak jauh dari China. Jika ya, dia tidak akan memiliki interaksi dan percakapan dengan teman-teman yang biasanya adalah bagian dari pengalaman masa-masa kuliah.

Masalah lainnya adalah mungkin lebih sulit bagi beberapa mahasiswa untuk pulang. Theresa Cardinal Brown, Direktur Imigrasi dan Kebijakan Lintas Batas di Pusat Kebijakan Bipartisan mengatakan beberapa siswa mungkin tidak dapat pulang sama sekali akibat kebijakan negara asal yang menutup perbatasan.

"Masalah yang lebih besar adalah beberapa negara ini memiliki pembatasan perjalanan dan mereka tidak bisa pulang. Lalu apa yang mereka lakukan? Ini teka-teki bagi banyak siswa," kata Brown.

India, sumber siswa internasional terbesar kedua di AS telah menutup perbatasan untuk penerbangan komersial meskipun masih menjalankan penerbangan repatriasi. Maitri Parsana, yang baru saja menyelesaikan tahun ketiga bidang Studi Ilmu Biologi di Universitas Buffalo di Negara Bagian New York, tak tahu bagaimana akan kembali ke India jika dia dipaksa meninggalkan AS.

Pihak universitas menyatakan akan menawarkan kelas hybrid. Tetapi, Parsana masih tak tahu apakah kelas spesifiknya akan secara daring atau langsung. Selain itu, Parsana menjelaskan bahwa tidak ada penerbangan ke India. Namun, Parsana berharap pemerintah India dapat mengatur penerbangan untuk membuat mahasiswa India dapat pulang ke negaranya.

"Saya benar-benar takut. Saya benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Saya sudah stres tentang studi saya dan sekarang saya harus menghadapi satu tekanan lagi," katanya, seraya menambahkan bahwa AS tampaknya lebih fokus pada mahasiswa internasional daripada menangani masalah nyata seperti COVID-19.

"Kami hanya merasa seperti kami diusir dari negara ini tanpa alasan."

Pihak ICE menyarankan agar mahasiswa yang saat ini terdaftar di universitas di AS mempertimbangkan langkah-langkah lain, seperti pindah ke universitas dengan model pembelajaran pertemuan langsung. Ada pengecualian untuk universitas yang menggunakan model hybrid yaitu campuran kelas daring dan tatap muka. 

Namun, untuk mencari universitas yang menawarkan proses belajar mengajar secara tatap muka mungkin sulit didapat di tengah kekhawatiran yang terus-menerus tentang penularan COVID-19. Beberapa universitas mengumumkan rencana kembali membuka kelas langsung tetapi mempersingkat jumlah semester, namun secara tiba-tiba membatalkan hal tersebut.