Menimbang Perlu Tidaknya Mengembalikan Pengawasan OJK ke Bank Indonesia
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) sedang mempertimbangkan untuk mengeluarkan dekrit darurat untuk mengembalikan regulasi perbankan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali ke Bank Indonesia (BI). Hal ini dilatarbelakangi kinerja pengawasan perbankan oleh OJK selama pandemi COVID-19.
Mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah mengaku, tidak setuju jika OJK dibubarkan. Burhan cenderung memilih jika dilakukan pengaturan ulang terhadap kelembagaan OJK dengan menggabungkannya di dalam BI. Artinya, OJK akan berada di bawah ototitas BI.
Nantinya, kata Abdullah, kepemimpinan pengaturan lembaga keuangan tetap berasal dari Bank Sentral. Sementara itu, OJK akan dipimpin oleh direksi-direksi yang berada dalam BI.
"Saya tidak setuju kalau OJK dibubabarkan tetapi lebih baik rearrange dengan BI, OJK tetap otoritas di bawah BI, dalam chairman gubernur BI," tuturnya, dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Narasi Institute, Senin, 6 Juli.
Soal pengawasan non-bank, dapat mengikuti Prancis yang pengaturan stock exchange berada di luar OJK. Selain itu, industri keuangan non-bank masih bisa di bawah OJK yang telah di-merger dengan Bank Indonesia.
Burhan bercerita, latar belakang pembentukan OJK berkaitan dengan terjadinya konglomerasi sistem keuangan pada 2009. Pada saat itu pengawasan perbankan yang terintegrasi dipandang perlu.
Lebih lanjut, kata Burhan, pembahasan UU Bank Indonesia terkait masalah konglomersi keuangan ini lah yang kemudian membentuk Lembaga Pengawasan Jasa Keuangan (LPJK) pada 2001. LPJK adalah cikal bakal berdirinya OJK saat ini.
"Pada saat saya masuk kembali ke Bank Indonesia, LPJK itu dibahas dengan sangat intens dan dijalankan pada pemerintahan setelah Abdurrahman Wahid. Pada saat itu pertanyaan saya apakah harus sekarang LPJK ini dibentuk? Kita ini dalam keadaan krisis. Kita perlu untuk menata berbagai hal struktur perekonomian kita," ujarnya.
Baca juga:
Menurut Burhan, dirinya juga sempat bertanya apakah rencana memisahkan kewenangan ini upaya untuk keluar dari krisis. Pada saat itu, dia juga mengatakan, jika bukan bagian dari upaya untuk keluar dari krisis maka LPJK ini dapat ditunda terlebih dahulu. Akhirnya, DPR menyetujui untuk menunda pembentukan LPJK sampai tahun 2010.
"Dalam pikiran saya memang bahwa konglomerasi keuangan benar adanya, keperluan pengawasan terintegrasi sah dan memang harus seperti itu. Pada akhirnya jadi trigger adalah kasus Bank Century, di mana ada surat berharga yang jadi persoalan yang mendorong pembentukan OJK pada 2013," katanya.
Menurut Burhan, perlu diskusi mendalam mengenai rencana pemindahan pengawasan perbankan dari OJK ke Bank Indonesia. Sebab, di tengah kondisi perbankan yang sedang menghadapi pandemi, perlu kehati-hatian dalam memutuskan kebijakan.
"Jangan kita rock the boat padahal kapal sedang oleng kita harus pikirkan dalam-dalam langkah ke depan," katanya.
OJK Masih Diperlukan
Ketua Badan Pengurus Daerah (BPD) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Sulawesi Selatan, Andi Rahmat Manggabarani mengatakan kelembagaan OJK saat ini masih sangat diperlukan keberadaannya.
"Saya berpendapat peleburan OJK terlalu riskan. Untuk peleburan tentunya tidak bisa kita putuskan dengan tergesa-gesa. Apalagi, wacana ini timbul akibat ketegangan yang ditimbulkan oleh krisis dari pandemi. OJK ini pun besar dan mengawasi banyak industri keuangan," tuturnya.
Namun, Andi mengatakan, integrasi OJK dengan lembaga lain sekaligus kurang tegasnya pengawasan OJK sehingga beberapa pejabatnya ditetapkan sebagai tersangka pada kasus PT Asuransi Jiwasraya, perlu menjadi perhatian lebih lanjut. Pasalnya, OJK tergolong lamban dalam hal pengungkapan permasalahan yang dialami oleh industri dan entitas jasa keuangan.
Sependapat, ekonom senior yang juga menjabat sebagai Ketua Badan Supervisi Bank Indonesia Fadhil Hasan mengatakan, proses transisi pemindahan kewenangan dari OJK ke BI, perlu memakan waktu lama dan terlalu riskan untuk dilakukan.
Menurut Fadhil, pembentukan lembaga pengawas OJK juga perlu diwujudkan segera. Hal ini juga untuk mengawasi kinerja OJK dalam menjalankan tugasnya.
"Saya setuju bahwa kita tidak bisa memutuskan OJK bisa dibubarkan hanya karena kegusaran presiden. Ini ongkosnya terlalu mahal," tutur Fadhil.