Kemenkominfo Minta Masyarakat Waspada Lindungi Data Pribadi dari Penipuan Online

JAKARTA - Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Semuel A. Pangerapan mendorong masyarakat waspada dengan mengenali modus pelaku penipuan online serta membiasakan diri melindungi data pribadi.

“Kemenkominfo meminta masyarakat untuk mewaspadai ragam modus penipuan online yang biasanya terjadi di ruang digital, seperti phising, pharming, sniffing, money mule, dan social engineering,” ungkap Semuel dalam acara webinar "Mewaspadai Jeratan Pinjaman Online Ilegal" belum lama ini.

Pria yang akrab disapa Sammy ini menjelaskan modus penipuan berupa phising kerap dilakukan oleh oknum yang mengaku dari lembaga resmi dengan menggunakan telepon, email atau pesan teks.

“Seolah-lah dari lembaga resminya, namun sebetulnya mereka ingin menggali supaya kita memberikan data-data pribadi kita. Data-data pribadi ini biasanya digunakan untuk kejahatan berikutnya. Mereka menanyakan data-data sensitif untuk mengakses akun penting yang mengakibatkan pencurian identitas hingga kerugian,” ujar Sammy.

Apabila mengalami hal ini, Sammy meminta agar masyarakat harus teliti membaca dengan benar dan melihat secara seksama isi dari SMS maupun email yang diterima, apakah benar pengirimnya berasal dari institusi asli.

Modus kedua, menurut Sammy adalah pharming handphone, yakni penipuan dengan modus mengarahkan mangsanya kepada situs web palsu dimana entri domain name system yang ditekan atau di-click korban akan tersimpan dalam bentuk cache.

“Sehingga dapat memudahkan pelaku untuk mengakses perangkat pelaku secara illegal. Contohnya, pembuatan domain seolah-olah mirip dengan asal institusi dari yang aslinya. Pelaku akan menaruh atau memasang malware supaya nantinya bisa mengaksesnya secara illegal," jelas Sammy.

"Kasus seperti ini banyak terjadi umpamanya ada yang whatsapp-nya disadap atau diambil alih karena ponsel sudah dipasangkan malware oleh pelaku sehingga data-data pribadinya dicuri,” imbuhnya.

Mengenai modus ketiga, Sammy menyebutnya sniffing. Menurutnya, dengan modus itu, oknum pelaku akan meretas untuk mengumpulkan informasi secara illegal lewat jaringan yang ada pada perangkat korbannya dan mengakses aplikasi yang menyimpan data penting pengguna.

“Sniffing ini paling banyak terjadi bahayanya kalau kita menggunakan atau mengakses Wi-Fi umum yang ada di publik, apalagi digunakannya untuk bertransaksi. Ini bahaya, karena sniffing itu kan biasanya terjadi di jaringan yang umum diakses publik, di situlah pelaku memanfatkannya,” tutur Sammy.

Modus keempat, yakni money mule, penipuan jenis ini misalnya ada oknum yang meminta korbannya untuk menerima sejumlah uang ke rekening untuk nantinya ditransfer ke rekening orang lain.

“Kalau di luar negeri mereka berani kliring cek, kita dapat cek tapi begitu kita periksa ternyata cek itu bodong. Begitu kita masukkan, kan kalau di sana prosesnya masuk itu muncul dulu di rekening kita. kalau ternyata tidak clearing, dipotong. Lalu, jika sudah digunakan harus dikembalikan,” kata Sammy.

Sementara di Indonesia sendiri, lanjut Sammy, biasanya pelaku akan meminta calon korban untuk membayarkan pajaknya terlebih dahulu.

“Money mule ini biasanya ditanyakan pelaku dengan calon korban, maukah dapat hadiah atau pajaknya dikirim dulu. Jadi, sekarang itu masyarakat perlu berhati-hati karena money mule ini digunakan untuk money laundry atau pencucian uang. Kamu akan saya kirim uang, tapi harus transfer balik ke rekening ini. Jadi, ini juga marak dan perlu kita waspadai,” tegas Sammy.

Terakhir, Sammy menyebutkan modus kelima yaitu social engineering. Ia menegaskan modus ini perlu diwaspadai agar tidak menjadi korban penipuan online.

“Jadi social engineering ini, pelaku memanipulasi psikologis korban hingga tidak sadar memberikan informasi penting dan sensitif yang kita miliki. Pelaku mengambil kode OTP atau password karena sudah memahami behavior targetnya. Dengan kata lain, masyarakat seringkali tidak sadar seringkali membagikan data-data yang seharusnya perlu dijaga,” tandas Sammy.

Dikatakan Sammy, penipuan online bisa berlangsung karena dinamika penggunaan ruang digital yang kian marak. Menurutnya, aktivitas transaksi di ruang digital dapat menimbulkan seseorang melakukan tindak kejahatan berupa penipuan online.

Bukan tanpa alasan, mengingat saat ini dijelaskan Sammy terdapat 202,6 juta pengguna internet di Indonesia. Ini angka yang sangat besar, yang aktif di sosial media terdapat 170 juta jiwa atau 87 persen menggunakan aplikasi jejaring pesan Whatsapp, 85 persen mengakses Instagram dan Facebook, dengan rerata penggunaan 8 jam 52 menit sehari.

"Jadi, ini melebihi batas waktu masyarakat kita berkomunikasi di ruang digital sehingga dapat memicu seseorang melakukan tindak kejahatan penipuan dengan memanfaatkan situasi untuk mendapatkan keuntungan,” tutup Sammy.