Catat Korban Investasi Ilegal EDCCash Sentuh 52 Ribu, Mabes Polri Masih Buka Posko Pengaduan

JAKARTA - Direktorat Tindak Pindana Ekonomi Khusus (Dit Tipideksus) Bareskrim Polri mengatakan, pihaknya masih membuka posko pengaduan korban investasi ilegal EDCCash setelah melimpahkan enam tersangka beserta barang bukti perkara tindak pidana ke Jaksa Penuntut Umum (JPU).

"Layanan pengaduan masih dibuka, sampai saat ini yang membuat laporan polisi ada tiga orang, yang menjadi saksi ada 60 orang, dan yang mengadu di layanan aduan ada 1.973 orang," kata Wadir Tipideksus Bareskrim Polri Kombes Whisnu Hermawan saat dikonfirmasi di Jakarta, Antara, Kamis, 19 Agustus. 

Dalam perkara penipuan, penggelapan dan tindak pidana pencucian uang oleh enam tersangka EDCCash, kepolisian memperkirakan ada 52 ribu korban yang dirugikan. Data tersebut berasal dari jumlah anggota yang memiliki akun aplikasi kripto EDCCash.

Kanit I Subdit V Dirtipideksus Bareskrim Polri Kompol Samian menyebutkan, pada awal penyelidikan jumlah anggota EDCCash tersebut mencapai 57 ribu orang yang tersebar di sejumlah wilayah di tanah air.

"Di dalam aplikasi, anggota yang masuk didalamnya ada sekitar 52 ribu, kalau informasi yang didapat awalnya 57 ribu, mungkin ada beberapa anggota yang sudah tutup akun," kata Samian.

Penyidik telah mencantumkan jumlah korban yang melapor, serta yang diperiksa dan yang membuat pengaduan dalam berita acara perkara. Meski demikian, Polri tetap membuka posko aduan bagi masyarakat yang merasa dirugikan oleh EDCCash tersebut.

Menurut Samian, EDCCash dalam merekrut anggota membuat banyak program-program seperti arisan, kemudian program kepemilikan mobil dan sebagainya.

"Jadi mereka yang ikut program dan ikut jadi korban tapi belum tentu jadi anggota, sehingga dimungkinkan besaran orang yang dirugikan di atas angka tersebut," katanya.

Penyidik juga memperkirakan ada orang-orang yang dirugikan dalam kasus ini yang mengikuti program-program para 'leader' EDCCash tetapi belum menjadi anggota. Misalnya, program mobil, peserta setiap bulan diminta bayar dengan nominal beberapa juta, kemudian pada bulan ke 13 akan diundi siapa pemenangnya akan mendapat mobil.

Kemudian, kata Samian, saat mendapatkan mobil, peserta program harus mendaftar sebagai anggota. Sehingga demikian, yang mengikuti program EDCCash belum tentu menjadi anggota yang terdaftar di aplikasi kripto EDCCash.

"Tapi dengan adanya kasus EDCCash ini sudah diungkap, program-program itu semua berhenti, orang-orang yang ikut program ini tentu dirugikan, yang sudah sekian juta membayar sekian bulan akhirnya tidak ada ujungnya, program tidak ada kejelasan," ujar Samian.

Untuk itu, kata Samian, pihaknya mempersilahkan masyarakat yang dirugikan oleh EDCCash dapat melapor ke sentra kepolisian terdekat di wilayahnya. Karena posko pengaduan EDCCash berada di Bareskrim Polri, laporan yang masuk di wilayah akan diakomodir dan disertakan dalam penyelesaian perkara ini.

Selain itu, jumlah korban melapor dengan jumlah anggota yang terdaftar di EDCCash yang tidak sebanding, menurut Samian, bisa disebabkan beberapa faktor, yakni anggota berada di luar Jabodetabek, dan kemungkinan anggota tersebut membayar dengan nominal yang masih kecil.

"Disampaikan kepada masyarakat yang merasa keberatan, bisa berkomunikasi antar mereka, bersama-sama membuat laporan setempat, nanti apakah laporan ditarik ke Mabes atau dilimpahkan. Bila ada korban merasa keberatan bisa buat laporan di polisi terdekat," ujarnya.

Sebelumnya, kuasa hukum tersangka EDCCash membantah pernyataan Polri terkait jumlah korban yang dirugikan dalam perkara EDCCash sebanyak 52 ribu orang.

Abdullah Al Katiri selaku kuasa hukum tersangka AY dan S mengatakan sebagian besar mitra yang bergabung dengan EDCCash tidak merasa dirugikan.

Adapun keenam tersangka, yakni AY selaku pimpinan utama EDCCash, S adalah istri dari AY berperan sebagai Exchanger (pertukaran) EDCCash mulai Agustus 2020.

Berikutnya, JBA berperan sebagai pembuat aplikasi EDCCash dan sebagai Exchanger EDCCash mulai Agustus 2018 sampai dengan Agustus 2020.

Para tersangka disangkakan dengan Pasal 105 dan/atau Pasal 106 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, Pasal 28 Ayat 1 Jo. Pasal 45A ayat 1 dan Pasal 36 Jo. Pasal 50 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik, tindak pidana penipuan/perbuatan curang Pasal 378 KUHP Jo. penggelapan Pasal 372 KUHP.

Keenam tersangka juga dijerat dengan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU/Money Laundering) Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.