Air Mata Messi dan Waktunya Menormalisasi Tangisan Laki-Laki
JAKARTA - Tangis Lionel Messi pecah ketika dirinya bahkan baru saja memulai konferensi pers perpisahan dengan Barcelona. Di luar segala aspek nostalgia, tangis Messi mengangkat aspek budaya patriarki bahwa sebaiknya kita mulai menormalisasi tangis bagi kaum laki-laki.
"Dia mudah menangis di dalam bioskop," Nicole Barber (Scarlett Johansson) menjelaskan alasannya mencintai Charlie Barber (Adam Driver) dalam adegan pembuka Marriage Story (2019). Sekilas namun cukup jelas: Charlie Barber adalah sosok laki-laki dengan keterbukaan emosi.
Bagian pembuka film jadi garis penting untuk merangkum sifat dan persona karakter serta konflik yang dibangun. Sang sutradara, Noah Baumbach bahkan menyebut adegan pembuka itu sebagai yang tersulit dalam penyusunan screenplay. Membutuhkan keseimbangan, katanya.
"Ini harus jadi gambaran keseluruhan tentang karakter Charlie dan Nicole serta keluarga yang mereka jalani. Saya dan tim harus memberikan visual yang mendukung narasi Nicole tentang Charlie dan bagaimana Charlie menggambarkan Nicole," kata Baumbach dalam akun YouTube, Netflix Film Club.
>
Dengan kata lain, adegan kecil tentang keterbukaan emosi Charlie tak sekadar tambalan, namun justru landasan dari keseluruhan film. Bahkan sikap itu memengaruhi Charlie dalam keputusannya yang cenderung lebih ingin mempertahankan pernikahannya.
Dalam mediasi keduanya, Nicole memandang mediasi tersebut tak berguna karena ia telah teguh dengan keinginan bercerai. Sementara Charlie tak tahu betul alasan konkret yang membuat Nicole ingin bercerai. Namun itu yang dibangun dalam film ini.
Ya, kita dapat melihat konflik terbangun lewat ketidakterbukaan emosi Nicole, hal yang bahkan sejatinya diungkap Nicole masih dalam rangkaian adegan pembuka yang kunci. "Dia (Charlie) sangat jelas tentang keinginannya. Tak sepertiku, yang selalu tak bisa bilang."
Ada dua hal dapat kita tangkap dari Charlie, Nicole, dan adegan pembuka dalam Marriage Story. Pertama bahwa tak ada jenis emosi tertentu yang jadi monopoli gender. Kedua tentu saja tentang pentingnya mengekspresikan emosi. Dan Messi adalah momentum untuk melihat fenomena ini kembali.
Tangisan dalam olahraga lebih ditolerir
Dunia ini mampu memahami tangisan Messi sebagai emosi universal. Tentu banyak hal. Selain aspek nostalgia, nyatanya laki-laki memang cenderung lebih mudah menangis dalam sebuah olahraga yang kompetitif.
Sebuah penelitian dilakukan oleh Heather J. MacArthur, pakar psikologi dari Hamilton College, New York, Amerika Serikat (AS). Penelitian itu menyelidiki kemungkinan tangisan pria lebih sering terlihat dan lebih ditolerir dalam konteks olahraga kompetitif.
Penelitian yang dirilis lewat situs Frontiersin.org itu menguji dua hipotesis. Pertama, bagaimana para responden mengamati stereotip maskulin dapat terganggu oleh tangisan dan bahwa tangisan amat erat dengan stereotip feminin. Hasilnya teramini.
Para responden melihat tangisan lekat dengan stereotip feminin. Namun hasil berbeda didapat ketika para peneliti mengaitkan konteks tangisan pria dalam sebuah olahraga kompetitif. Tangisan dalam konteks olahraga cenderung lebih bisa ditoleransi oleh stereotip maskulin.
"Menunjukkan bahwa peserta laki-laki dilaporkan lebih mungkin untuk meneteskan air mata setelah kalah dalam kompetisi angkat besi daripada skating," tertulis dalam hasil penelitian tersebut.
"Secara keseluruhan temuan ini menunjukkan bahwa pria yang dianggap mewujudkan cita-cita budaya maskulinitas --direpresentasikan jenis olahraga angkat besi-- dapat diberi lebih banyak ruang untuk menangis daripada mereka yang dianggap kurang stereotip maskulin."
'Boys don't cry'
Jika dunia dapat menolerir tangisan Messi, bagaimana dengan tangisan laki-laki selain Messi? Kita mengenal luas istilah "Boys Don't Cry" yang menggambarkan kokohnya emosi laki-laki. Tanpa kerapuhan.
American Psychological Association (APA) menjelaskan fenomena ini sebagai hal destruktif. Dalam sebuah video kampanye berjudul Boys Don't Cry, APA mengangkat pola asuh banyak orang tua di dunia yang cenderung menjauhkan anak laki-laki dari sentuhan emosional.
Dalam video, sejumlah psikolog berbicara menentang stereotip tersebut. Pendiri The Love More Movement, Bruce Purnell mengatakan pengekangan ekspresi seseorang terhadap emosi dapat menyebabkan sejumlah masalah, seperti hasrat bersaing, kemampuan berkembang pesat, hingga keseimbangan untuk mengembangkan hubungan positif.
"Itu karena kita tak memiliki emosi yang dibutuhkan," kata Purnell.
Psikolog lain, Andrew Smiller menolak mentah monopoli emosi terhadap gender. Emosi adalah perangkat dasar manusia. Salah satu dari sekian banyak hal yang membedakan manusia dengan binatang. Termasuk menangis, yang menurutnya adalah naluri fundamental.
Manusia mengalaminya sejak lahir ke dunia. Menangis bahkan dipandang sebagai bentuk komunikasi dasar manusia dalam relasinya dengan orang tua. Tangis jadi bahasa universal yang membangun keterikatan antara seorang bayi dan orang tua. Semakin konstruksi emosi terbangun, tangisan berubah.
Ia jadi respons dari luapan emosi, seperti kesedihan, kehilangan, frustasi, juga kebahagiaan. Dalam konteks negatif, menahan tangisan dapat memunculkan gangguan emosional bahkan traumatik yang membebani psikis.
"Para penulis puisi dan filsuf menyebut emosi, termasuk tangis sebagai batas yang membedakan manusia dengan binatang," kata Smiller.
>
Profesor psikologi dari Clark University, Addis menyoroti konstruksi gender tradisional dalam pembingkaian tangis laki-laki. Menurutnya perspektif patriarki yang membebani laki-laki sebagai sosok 'anti-pecah' harus disudahi. Dunia harus membangun bentuk maskulinitas baru yang bersikap baik dan menghormati pilihan ekspresi orang lain.
"Saat ini yang menjadi tantangan selanjutnya ialah perlu meningkatkan pemahaman dan kesadaran kita tentang bagaimana secara psikologis bahwa menangis bagi laki-laki bukanlah sesuatu yang aneh, tetapi sebaliknya hal itu wajar mereka lakukan," kata dia dikutip Psychology Today.
Lagipula, mengekspresikan emosi, termasuk tangisan memiliki sejumlah manfaat. Menangis, di antaranya bermanfaat untuk mengurangi stres. Menangis merangsang produksi endorfin dalam tubuh yang mampu mengurangi sakit dan membuat kita merasa lebih baik.
Menangis juga dapat meningkatkan mood karena kadar mangan dalam tubuh kita akan keluar bersama air mata. Manfaat lain dari menangis adalah melegakan perasaan dan membunuh bakteri. Menurut penelitian kandungan lysozyme dalam air mata bisa membunuh 90 hingga 95 persen bakteri di sekitar mata.
*Baca Informasi lain soal MESSI atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.