Ekonomi Tumbuh 7,07 Persen di Kuartal II 2021, Banggar DPR Proyeksikan Bakal Melambat Jadi 2 Persen di Kuartal III
JAKARTA - Pemulihan perekonomian Indonesia dinilai terus mengalami perbaikan. Setelah sebelumnya mengalami kontraksi panjang, kini Indonesia berhasil keluar dari jurang resesi dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 7,07 persen di kuartal II 2021. Pemerintah pun diminta untuk menjaga momentum pertumbuhan ini mengingat ada beberapa tantangan di dua kuartal terakhir tahun ini.
Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah mengatakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2021 sebesar 7,07 persen secara tahunan atau year on year (yoy), atau 3,31 persen secara quarter to quarter (qtq) patut disyukuri. Capaian ini, kata Said, membawa semangat baru untuk terus menggenjot pemulihan ekonomi.
"Pencapaian ini patut kita syukuri dan memberikan semangat bagi kita untuk memulihkan ekonomi kita yang diterpa pandemi COVID-19," tuturnya, di Jakarta, Kamis, 5 Agustus.
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), kata Said, banyak sektor-sektor yang tumbuh sebagai dampak kebijakan pemerintah selama kuartal I tahun 2021. Misalnya kebijakan diskon pajak (PPnBM) sehingga perdagangan mobil, sepeda motor dan reparasinya tumbuh sebesar 37,88 persen (yoy).
"Kita juga patut bersyukur sektor primer seperti perikanan dan peternakan tumbuh cukup besar. Perikanan tumbuh 9,69 persen (yoy) dan peternakan tumbuh 7,07 persen (yoy). Industri pengolahan yang menyumbang 19,29 persen PDB juga tumbuh signifikan. Industri pengolahan tumbuh 6,58 persen (yoy)," ujarnya.
Kata Said, desain APBN 2021 yang melanjutkan kebijakan countercyclical juga berdampak bagus terhadap sektor konstruksi. Sektor ini tumbuh besar sebagai dampak dari realisasi belanja pemerintah pada konstruksi yang naik sebesar 50,22 persen pada tahun 2021.
Dari sisi pengeluaran, menurut Said, juga patut untuk disyukuri. Khususnya pada tingkat konsumsi rumah tangga yang berkontribusi 57 persen PDB keluar. Konsumsi rumah tangga tumbuh 5,93 persen, jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya masih minus 2,22 persen. Bahkan pencapaian konsumsi rumah tangga ini melebih pencapaian di sepanjang tahun 2019 dan 2020.
"Meskipun di banyak sektor kita mengalami pencapaian yang menggembirakan, namun masih banyak pekerjaan yang harus kita hadapi pada dua kuartal mendatang di tahun 2021. Beberapa tantangan, pertama, saya memperkirakan akibat kebijakan PPKM Darurat dan PPKM berlevel akan mengakibatkan perlambatan ekonomi kita di kuartal III 2021," tuturnya.
Lebih lanjut, Said memprediksi pada kuartal III 2021 ekonomi nasional akan kembali melambat dengan level kontraksi 1,7 hingga 2 persen. Said mengatakan agar tingkat kontraksi ekonomi pada kuartal III 2021 tidak terlalu dalam, maka pemerintah harus disiplin dalam mencapai target penurunan COVID-19 dengan kebijakan PPKM ini.
"Saya berharap tingkat efektivitas kebijakan PPKM ditingkatkan, sehingga PPKM tidak berkepanjangan, dan kasus positif COVID-19 menunjukan penurunan signifikan. Dengan keberhasilan pengendalian COVID-19, dan PPKM tidak diperpanjang, maka saya perkirakan pada kuartal IV 2021, pertumbuhan ekonomi bisa kembali ke zona positif pada kisaran 4,7 hingga 5,2 persen," ucapnya.
Kata Said, seiring makin besarnya tingkat kasus positif COVID-19 di desa-desa, ditambah dengan data BPS yang menunjukkan sektor pertanian, khususnya tanaman pangan terkontraksi 8,16 persen. Maka, keadaan ini harus diantisipasi oleh pemerintah agar tidak berdampak serius terhadap ketahanan pangan nasional.
Baca juga:
- Stafsus Jokowi: Pertumbuhan Ekonomi 7,07 Persen di Kuartal II Salah Satunya Berkat Kebijakan Pemerintah seperti Bansos
- Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II Moncer, Anak Buah Sri Mulyani ‘Tepuk Dada’: Sesuai Prediksi
- Lagu Lama Itu Bergema Lagi, Konsumsi Rumah Tangga Jadi 'Juru Selamat' Pertumbuhan Ekonomi Indonesia hingga Sentuh 7,07 Persen
- Sri Mulyani Senang Pertumbuhan Ekonomi Capai 7,07 Persen: Mesin Perekonomian Kembali Pulih
"Bila kasus positif COVID-19 di desa meningkat di tengah pertumbuhan tanaman pangan yang terkontraksi akan berdampak ganda. Pertama akses layanan kesehatan di desa tidak sebanyak di kota, yang berakibat tingkat fatalitas akibat COVID lebih tinggi. Kedua terganggunya suplai pangan nasional. Keduanya harus diantisipasi oleh pemerintah," katanya.
Said mengatakan, sebagai akibat dampak PPKM, pemerintah harus mengefektifkan program bantuan sosial, khususnya untuk keluarga miskin. Langka ini untuk mengantisipasi kemungkinan kontraksi kembali terhadap tingkat konsumsi rumah tangga.
Sementara untuk dilapis rumah tangga menengah atas, menurut Said, pemerintah perlu mendorong kebijakan insentif perpajakan yang memungkinkan spending mereka lebih besar lagi, agar tingkat konsumsi rumah tangga terjaga dengan baik di zona positif pada kuartal berikutnya.
Menurut Said, seiring dengan meningkatnya laju ekspor dam impor, dimana pada kuartal II 2021 ekspor tumbuh 31,78 persen yoy dan impor tumbuh 31,22 persen yoy, maka pemerintah perlu mengantisipasi agar berbagai kegiatan ekspor impor tidak terganggu.
Misalnya, tidak ada lagi kelangkaan peti kemas, layanan Customs Excise Information System and Automation (CEISA) pada Ditjen Bea Cukai tidak lagi bermasalah, termasuk memberantas berbagai kegiatan pungli.
"Pemerintah juga perlu mengantisipasi kebijakan tapering off (pengetatan moneter) yang rencananya akan dilakukan oleh The Fed pada Oktober 2021 mendatang, bila ekonomi Amerika Serikat (AS) menunjukkan perbaikan," tuturnya.
Menurut Said, pemulihan ekonomi AS ini juga akan mendorong kemungkinan capital outflow pada pasar keuangan nasional yang konsekuensinya akan menekan rupiah."Namun peluangnya potensi ekspor kita akan meningkat, sebab AS adalah pasar ekspor tradisional kita. Total ekspor kita ke AS pada tahun 2021 sebesar 12 persen dari total ekspor," katanya.