Masihkah Mungkin Hukuman Mati untuk Juliari Batubara?
JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut mantan Menteri Sosial Juliari Batubara 11 tahun penjara dan denda Rp500 juta. Selain itu dia juga dituntut pidana tambahan Rp14,5 miliar.
Tuntutan ini diajukan kepada Juliari sebagai terdakwa kasus suap bantuan sosial (bansos) COVID-19 di wilayah Jabodetabek yang menjerat dirinya. Meski sebelumnya Ketua KPK Firli Bahuri membuka peluang pemberian hukuman mati bagi Juliari namun hal ini nyatanya tidak terjadi.
Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri mengatakan tuntutan tersebut sudah diberikan sesuai dengan hasil penyelidikan dan fakta yang ditemukan.
"Kami pastikan bahwa penerapan pasal tindak pidana korupsi pada seluruh hasil tangkap tangan KPK adalah terkait penyuapan. Hal tersebut mendasar pada hasil penyelidikan," kata Ali kepada wartawan, Jumat, 30 Juli.
"Sebagaimana kita pahami bersama, OTT adalah produk dari penyelidikan produk dari penyelidikan tertutup. Bukan hasil dari case building melalui penyelidikan terbuka, dengan memanggil pihak-pihak terkait untuk dimintai keterangan dan klarifikasinya oleh tim penyelidik," imbuhnya.
Hanya saja, Ali mengatakan KPK saat ini sedang berupaya mengembangkan kasus bansos COVID-19. Dengan pengembangan ini, bukan tak mungkin para pelaku dijerat pasal lain, termasuk Pasal 2 atau 3 UU Tipikor.
"Bagi KPK tuntutan terhadap suatu perkara harus betul-betul berlandaskan fakta, analisa, dan pertimbangan hukumnya. Karena penegakan hukum harus dilakukan dengan cara yang benar menurut hukum," ujarnya.
KPK minta masyarakat tak beropini
Ali memahami kemarahan publik karena tindakan yang dilakukan Juliari saat menjabat. Tapi dia meminta masyarakat menahan diri dan tidak menyampaikan opini yang kontraproduktif.
"Karena kita tentu harus patuh dan taat terhadap norma-norma hukum dalam upaya pemberantasan korupsi," tegasnya.
Tuntutan yang dibacakan JPU KPK di Pengadilan Tipikor pada Rabu, 28 Juli lalu jadi sorotan beberapa pihak. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai KPK seakan enggan menindak tegas pelaku korupsi bansos COVID-19.
Tak hanya itu. Tuntutan yang diajukan tersebut juga terkesan ganjil dan mencurigakan. Alasannya, pasal yang jadi dasar penuntutan, yaitu Pasal 12 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebenarnya mengakomodir hukuman penjara seumur hidup dan denda Rp1 miliar.
Begitu juga dengan penjatuhan pidana tambahan berupa uang pengganti. Kata Kurnia, hal ini tidak memuaskan mengingat besarannya kurang dari 50 persen dari total uang suap yang diterima Juliari.
Karenanya ICW menilai tuntutan rendah ini tak sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi dan pernyataan pimpinan KPK. "Tuntutan yang rendah ini kontradiktif dengan semangat pemberantasan korupsi."
"Padahal, pimpinan KPK telah sesumbar menyatakan akan menghukum berat koruptor bansos COVID-19," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Kamis, 29 Juli.
ICW sebut KPK perwakilan koruptor
Menurut Kurnia, KPK sebagai representasi negara dan korban harusnya bertindak meminta pertanggungjawaban atas kejahatan yang dilakukan Juliari. Tapi hal ini justru tak dijalankan dengan baik karena komisi antirasuah seakan menjadi perwakilan para pelaku korupsi.
Selain ICW, eks Juru Bicara KPK Febri Diansyah juga angkat bicara soal tuntutan 11 tahun yang diajukan terhadap Juliari. Menurutnya, tuntutan ini tak bisa mengobati penderitaan masyarakat yang jadi korban korupsi di tengah pandemi COVID-19.
"Tuntutan untuk terdakwa korupsi bansos COVID-19 hanya 11 tahun saya rasa tidak bisa mengobati penderitaan masyarakat yang jadi korban korupsi bansos. Ancaman hukuman maksimal adalah 20 tahun atau seumur hidup. Jauh dari ancaman maksimal," kata Febri.
Dia mengatakan, KPK punya banyak tugas dalam penanganan kasus ini termasuk mendalami siapa saja pihak yang terlibat. "Dan yang mendapat keuntungan di atas penderitaan masyarakat sebagai korban korupsi bansos ini," tegas Febri.
Pekerjaan ini, kata dia, harus dilakukan untuk mengusut kasus suap bansos COVID-19. Apalagi, dalam penanganan kasus tersebut banyak kontroversi yang terjadi termasuk penonaktifan penyidik KPK yang mengurusi kasus ini.
Sebagai informasi, terdapat 2 penyidik kasus suap bansos yang dinonaktifkan bersama 73 pegawai lainnya. Mereka dinonaktifkan setelah dinyatakan tak lolos dalam Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sebagai syarat alih status pegawai menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
"Kita ingat penanganan kasus ini memunculkan sejumlah kontroversi. Mulai dari nama-nama politikus yang muncul tapi tidak jelas proses lanjutannya sampai pada para penyidik (kasus suap, red) bansos yang disingkirkan menggunakan alat TWK yang bermasalah secara hukum," pungkasnya.
*Baca Informasi lain soal KORUPSI atau baca tulisan menarik lain dari Wardhany Tsa Tsia.
BERNAS Lainnya
Baca juga:
- Aturan Konyol Makan 20 Menit jadi Wajar Jika Melihat Tak Jelasnya Dasar Hukum PPKM
- Matinya Empati DPR: Cari Aman di Tengah Warga Mati, Buang Uang di Tengah Krisis Ekonomi
- Setiap Anak Lahir Tanggung Rp24 Juta Utang Negara: Mendalami Bahaya Pinjaman untuk Kita
- Semprotan Ian Hugen dan Egoisme DPR: Ujian Batas Kelas di Tengah Pandemi