Pemerintah dan Serikat Pekerja Membahas RUU Cipta Kerja di Masa Pagebluk COVID-19
JAKARTA - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menginisiasi pertemuan antara pemerintah dengan serikat pekerja untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja.
Ada sejumlah tokoh serikat pekerja yang hadir, di antaranya Presiden KSPSI Andi Gena Nuna Wea, Presiden KSPI Said Iqbal, dan Ketua KSBSI Elly Rosita.
Sedangkan dari kalangan pemerintah, selain diwakili oleh Mahfud MD, hadir juga Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziah, dan Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko.
"Pertemuan ini agar kita bisa saling tukar pikiran mengenai Omnibus Law Tenaga Kerja. Dengan keyakinan, bahwa dengan pikiran yang sama untuk meningkatkan martabat dan kesejahteraan tenaga kerja," kata Mahfud dikutip dari keterangan tertulisnya, Rabu, 10 Juni.
Dalam kesempatan yang sama, Menko Perekonomian Airlangga mengatakan, pagebluk COVID-19 ternyata berdampak luas kepada pekerja. Sehingga, selain fokus pada bidang kesehatan untuk menekan penyebaran virus, pemerintah juga terus berusaha memutus mata rantai pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Ini memerlukan kerja sama yang erat dengan para serikat pekerja," tegas politikus Partai Golkar ini.
Harapan serikat buruh
Presiden KSPSI Andi Gena Nuna Wea berharap, tim teknis mengenai masalah ketenagakerjaan bisa segera dibentuk. Sehingga, segala yang berkaitan dengan ketenagakerjaan dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja bisa mencapai kesepahaman.
"Kami berharap agar bisa dibentuk tim teknis segera, tim teknis yang isinya tripartit, ada serikat buruh, ada Kadin dan juga ada pemerintah yang duduk bersama dan bicara bersama," ungkapnya.
Harapan positif juga hadir dari Presiden KSPI Said Iqbal. Dia tak menampik, ke depan bakal ada pola hubungan kerja yang baik antara buruh dan pemerintah, "Dan ternyata ini terjadi saat pandemi."
Agar seluruh serikat pekerja bisa tersampaikan aspirasinya, ada dua sesi dialog yaitu sesi siang dan sesi malam. Pada sesi siang hari, ada 9 organisasi atau serikat pekerja yang hadir. Sementara untuk sesi malam hari, melibatkan 7 serikat pekerja dan buruh.
Dialog ini merupakan pertemuan ketiga. Sebelumnya, dialog yang sama juga sudah dilaksanakan pada bulan Maret dan April untuk mendengarkan masukan para pekerja dan buruh mengenai RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
Baca juga:
Mempertanyakan pertemuan dilakukan di tengah pagebluk
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad mengatakan, RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini memang perlu dibahas dan harus melibatkan serikat pekerja lainnya, tidak hanya organisasi buruh.
"Perlu dilibatkan organisasi yang beragam, organisasi lain yang konsen dengan RUU tersebut. Tidak hanya buruh loh," ungkap Tauhid ketika dihubungi VOI, Rabu, 10 Juni.
Selain itu, pembahasan ini harus dilakukan secara terbuka, transparan, dan akuntabel. Sehingga, dalam pertemuan, tiap pasal bisa dibahas agar menghasilkan keputusan terbaik.
Dia juga menilai, pembahasan rancangan perundangan itu tidak boleh dilakukan secara terburu-terburu supaya hasilnya maksimal.
Namun, Tauhid berkata, meski pertemuan itu berhasil tapi tidak membuat investasi mudah masuk di masa pagebluk, maupun saat proses pemulihan nanti. Sebab, investor juga melihat beberapa faktor lain, seperti seperti infrastruktur, layanan perpajakan, maupun soal korupsi yang masih menjadi masalah.
Sementara, Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal menilai, pertemuan membahas RUU Omnibus Law Cipta Kerja di tengah pagebluk COVID-19 tak perlu dilakukan.
Menurut dia, apapun regulasi dan stimulus pendorong investasi yang wacanakan pemerintah, termasuk RUU Omnibus Law, tidak akan berjalan efektif saat ini. Menurut Faisal, pemerintah seharusnya lebih fokus untuk menanggulangi wabah untuk penyelamatan ekonomi.
"Jadi sama sekali tidak ada urgensi untuk membahas apalagi mempercepat pengesahan Omnibus Law saat ini. Kalaupun Omnibus Law berhasil disahkan, tidak akan memberikan jalan keluar dari tekanan ekonomi yang ada saat ini. Harus ditunda," kata Faisal.
Sedangkan Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah mengatakan, pembahasan ini memang sebaiknya ditunda.
Dia bukan mempermasalahkan karena saat ini sedang ada pagebluk COVID-19. Menurut Dedi, rancangan ini sudah sepatutnya ditunda karena melihat urgensi dari pembuatan regulasi yang ada di dalamnya.
"Membaca draf yang saat ini dalam pembahasan memang terkesan memaksakan kehendak melalui peringkasan UU lainnya," ujarnya.
Dia menilai, RUU ini terkesan lebih condong kepada pihak korporasi bukan kepada masyarakat pekerja. "Untuk itu, tidak eloknya pembahasan ini karena cenderung oligarkis bukan karena soal COVID-19," kata Dedi.
"Meskipun dalam kondisi tertentu, semakin tidak elok ketika ada hal yang lebih krusial dan berdampak langsung pada masyarakat sementara penyelenggara negara sibuk dengan pembelaan elit," pungkasnya.