Catatan Muram Hari Anak Nasional 2021: Yatim-Piatu Sosial hingga Kendala Pendidikan
JAKARTA - Hari Anak Nasional 2021 dipenuhi catatan muram. Sejumlah masalah makin jadi, termasuk yang muncul dari pandemi COVID-19: yatim piatu sosial akibat wabah penyakit, anak-anak post-covid hingga mereka yang kehilangan hak pendidikan penuh.
Vino, bocah kelas 3 SD di Kampung Linggang, Purworejo, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur (Kaltim) jadi yatim piatu dan kini harus menjalani isolasi mandiri di rumahnya. Sang ibu, Lina Safitri (31) meninggal pada Senin, 19 Juli dalam kondisi hamil lima bulan.
Berselang sehari, sang ayah, Kino Raharjo (31) menyusul Lina meninggalkan Vino. Lina dan Kino meninggal saat menjalani perawatan intensif akibat infeksi COVID-19 di Rumah Sakit Harapan Insan Sendawar, Kutai Barat. Berbeda dengan orang tuanya. Vino yang tak bergejala isolasi mandiri di rumah.
Tetangga Vino, Mistari menjelaskan Vino sehat fisik namun terpukul psikis. Menurut Mistari yang memonitor Vino, malam jadi waktu paling muram karena malam adalah waktu Vino biasa berkumpul dengan kedua orang tuanya. Kini Vino dirawat paman, Margono dan para tetangga terdekat lain.
"Ayah Vino ini profesinya penjual pentol keliling. Di sini (rumah) ada beberapa penjual (pentol) juga. Semua perantauan dari Jawa. Rumah berdampingan di situ. Mereka yang urus Vino," Mistari, dikutip Kompas.com, Jumat, 23 Juli.
Vino bukan satu-satunya bocah yang jadi kehilangan orang tua karena pandemi. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memperkirakan jumlah anak yatim, piatu serta yang yatim-piatu seperti Vino mencapai ribuan. Estimasi itu diliat dari tingginya angka kematian di Indonesia.
Data Jumat, 23 Juli, tercatat 1.566 terkonfirmasi positif COVID-19 meninggal. Dengan tambahan itu maka akumulasi data meninggal pasien COVID-19 di Indonesia mencapai 80.598 jiwa. KPAI mendesak pemerintah untuk membuat data turunan soal anak yang jadi yatim, piatu atau yatim-piatu.
Ketidaktersediaan data valid adalah masalah. Padahal anak telantar adalah tanggung jawab negara. Komisioner KPAI Retno Listyarti menduga pemerintah gagal memecah fokus. Pandemi bukan cuma soal pengendalian penularan tapi juga tentang penanganan dampak, termasuk konteks sosial.
"Menurut saya jangan-jangan pemerintah enggak ngeh karena sibuk dengan upaya mengendalikan (penyebaran virus). Mungkin banyak orang juga enggak ngeh tentang bagaimana pandemi ini telah membuat anak-anak di bawah umur kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya. Pemerintah tampaknya belum menyadari bahwa anak-anak ini butuh pertolongan," Retno, dikutip DW.
Sebelum Indonesia, negara paling disoroti sebagai episentrum pandemi adalah India. Tapi, betapapun kepayahannya India, mereka tak kelewat memitigasi dampak sosial dari kematian banyak orang tua. Menteri Urusan Perempuan dan Anak India Smirti Irani memaparkan data itu di Twitter.
"Pertanyaannya ialah anak-anak ini mau diapakan? Menurut saya, bagaimana mau diapakan, wong datanya saja enggak jelas," kata Retno.
"Pemerintah perlu segera melakukan pemetaan data. Setelah ada data, kita baru bisa berbuat sesuatu untuk memenuhi hak-hak mereka," tambahnya.
Anak-anak post-covid
COVID-19 cenderung menimbulkan gejala lebih ringan pada pasien anak. Hal itu didukung data World Health Organization (WHO) yang secara garis besar menjelaskan kebutuhan rawat inap pada pasien anak jauh lebih rendah.
Tapi kasus seorang anak di Inggris yang dilaporkan CNN patut jadi perhatian. Sang anak justru menderita batuk berbulan-bulan setelah terinfeksi COVID-19. Dan dokter mendiagnosis sebagai kondisi kelelahan post-covid.
Direktur US National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID) Dr Anthony Fauci juga menjelaskan situasi post-covid yang lebih rentan pada anak. Bahkan Fauci menyebut beberapa anak meninggal karena post-covid.
Tak cuma itu. Sebagian kecil pasien anak dan remaja yang pernah terjangkit COVID-19 dan sempat dirawat di Amerika Serikat (AS), Inggris Raya, Italia, serta sejumlah negara lain menunjukkan kondisi langka.
Kondisi itu disebut sindrom inflamasi multisistem atau MIS-C, yaitu komplikasi potensial yang dialami seseorang setelah infeksi COVID-19. Potensi komplikasi ini makin berbahaya pada anak dengan sindrom hyper-inflammatory.
Anak dengan sindrom hyper-inflammatory biasanya menunjukkan gejala sakit yang parah. Karena itu biasanya merekalah yang membutuhkan perawatan medis. Penelitian terus dilakukan soal kondisi post-covid pada anak.
Tak dapat pendidikan penuh
Satu tahun lebih pandemi COVID-19, enam ribu sekolah tutup dan memaksa 60 juta anak menjalani pembelajaran jarak jauh. Kini melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri, pemerintah kembali merancang pendidikan tatap muka. Istilahnya 'hybrid'.
Skema kegiatan belajar mengajar ditentukan berdasar zonasi. Sekolah di wilayah hijau diperbolehkan menggelar pendidikan tatap muka dengan syarat ketat protokol kesehatan. Sementara sekolah di zona merah dilarang.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyadari tak sedikit anak Indonesia terkendala dalam pembelajaran jarak jauh. Ini berdampak langsung pada implikasi pendidikan di Indonesia, mulai dari penurunan motivasi belajar, literasi dan numerasi hingga yang paling serius, ancaman putus sekolah.
Studi global oleh Save the Children pada Juli 2020 menunjukkan delapan dari sepuluh anak tak dapat mengakses bahan pembelajaran secara memadai. Variabel lain, empat dari sepuluh anak sulit memahami pekerjaan rumah.
Lainnya, satu persen anak bahkan tak belajar apapun selama pembelajaran jarak jauh. Survei itu dilakukan di 46 negara dunia. “Tahun 2021 ini harus menjadi tahun yang memastikan anak tetap mendapatkan akses belajar yang berkualitas."
"Karena pendidikan merupakan hak anak yang harus dipenuhi dan juga kunci membangun generasi Indonesia," ungkap Selina Patta Sumbung, CEO Save the Children Indonesia.
Pembelajaran jarak jauh juga mendapati sejumlah tantangan lain yang secara holistik dialami semua yang terlibat dalam aktivitas pendidikan, mulai dari anak, guru hingga orang tua. Kendala itu, misalnya keterbatasan alat, materi dan akses terhadap pembelajaran dan pengajaran.
Selain itu persoalan infrastruktur semacam akses internet, jalan, juga listrik juga jadi masalah. Lainnya, keterampilan guru, kemampuan orang tua sebagai pendamping anak belajar bahkan si anak sendiri belum terbangun dalam adaptasi praktik PJJ dan belajar mandiri.
Masih dari survei sama, penciptaan lingkungan belajar aman dan nyaman juga jadi masalah. Sebanyak 63 persen anak perempuan mengaku dapat lebih banyak beban pekerjaan rumah. Ini selaras dengan pengakuan 23 persen orang tua yang merasa tertekan mengasuh anak dalam situasi pandemi.