Punk, Kultur dan Semangat Perubahan
JAKARTA - Punk, sejatinya adalah jenis musik yang sangat idealis. Begitu juga para penganutnya. Jenisnya termasuk dalam kategori musik underground yang hadir bukan untuk diperjualbelikan secara luas di pasaran.
Kendati begitu, sejumlah musisi telah memilih untuk memberikan seluruh hidupnya untuk musik punk. Sekadar menyebut nama, ada Buluk (Superglad), Indra Gatot(Rosemary) Aska Pratama (Rocket Rockers) Bobby Kool (Superman Is Dead), Dory (Endank Soekamti), dan tentunya Mike (Marjinal).
Sebelum terjun lebih jauh ke dalam scene punk, ada baiknya seseorang memahami dulu tentang kultur dalam musik punk. Salah satunya, kultur D.I.Y (Do It Yourself) atau anti mainstream dan kultur mainstream.
Ini memang terjadi di negara asal musik punk itu sendiri, seperti di Inggris atau Amerika Serikat. Sampai saat ini masih terjadi perdebatan negara mana pencentus musik punk.
Exploited misalnya, saat pertama kali muncul ke permukaan masih bisa dikatakan band punk yang anti mainstream. Namun ketika album Beat The Bastards dirilis pada 1996, band ini memilih jalur mainstream lantaran yang menaungi album mereka, Rough Justice Records, tergolong label besar.
Sedangkan The Clash dan Sex Pistols, bisa dikatakan termasuk dalam kultur mainstream karena (lagi-lagi) berkaitan dengan label besar yang menjadi induk mereka.
Baca juga:
- Kembali Bermusik, Camila Cabello Siapkan Single Baru Don't Go Yet
- Bernyanyi di Single Solo Perdana, Bekas Kibordis Peterpan Andika Naliputra Ikuti Jejak Ahmad Dhani
- Dave Grohl Tidak Peduli Apa yang akan Dipikirkan Kurt Cobain tentang Foo Fighters
- Buku Perjalanan Karier Musik Judas Priest, Decade of Dimination Dirilis Juni
Di Indonesia, ada yang dikenal dengan sebutan ‘punk garis keras’ yang notabene tidak mau bersentuhan dengan media manapun. Itu adalah pilihan mereka karena setiap negara atau band memiliki pilihan berbeda dalam pengelompokan mainstream atau tidak mainstream.
Setiap band punya batasan sendiri-sendiri mana itu idealisme dan mana komersialisme. Tapi, punk adalah jalan hidup, dan sebuah kebebasan bagi siapa pun yang memilih meluncur di jalur anti mainstream ataupun kemapanan.
Dengan kultur dan warna musik seperti tadi, sampai-sampai banyak yang mengatakan bahwa musisi punk adalah musisi tanpa skill dan terkesan cuek dalam urusan sound. Anggapan tersebut bahkan tidak jarang keluar dari mulut musisi punk itu sendiri.
Ada yang bilang, di dalam musik punk urusan skill dan sound itu belakangan. Yang penting attitude, lirik, dan mampu menyuarakan isi hati.
Benar. Jika kita menenggok ke awal era 70-an, band-band punk dianggap tidak memiliki skill khusus kalau dilihat dari rekaman yang muncul di tahun-tahun tersebut. Tapi, seiring berjalannya waktu, banyak band punk yang memiliki skill dan pengemasan sound yang baik.
Lalu, apa tips untuk survive di scene punk? Pertama, tentu saja harus mencintai musiknya lebih dulu. Lalu, enjoy dan menjadi diri sendiri, jangan pernah memadamkan semangat D.I.Y, membuat karya yang memberikan perubahan positif, jalani dengan konsisten, dan yang tidak kalah penting adalah mengibarkan slogan yang kerap dikumandangkan Mike "Marjinal". Apa itu?
“Punk is nothing, dia adalah free spirit without class, without borders dan semangat mengusung perubahan, dia juga berarti adalah aku, kamu, dia, mereka, kita semua.”