Ambang Batas 7 Persen Dinilai Ancaman Demokrasi
JAKARTA - Komisi II DPR RI tengah menyusun draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu tahun 2024 mendatang. RUU ini salah satu yang menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Terdapat salah satu pasal yang membuat sejumlah partai peserta pemilu 2019 yang tak lolos parlemen "menjerit". Sebab, dalam Pasal 217 RUU Pemilu menyebutkan, parliementary treshold atau ambang batas parlemen direncanakan naik dari 4 persen menjadi 7 persen pada Pemilu 2024.
Adapun ambang batas parlemen pada pemilu sebelumnya juga mengalami kenaikan. Pada tahun 2009, ambang batas parlemen 2,5 persen dari jumlah suara sah, tahun 2014 naik menjadi 3,5 persen, dan tahun 2019 menjadi 4 persen.
Rencana kenaikan ambang batas ini ditolak oleh sejumlah partai, yakni Partai Berkarya, PBB, Hanura, Perindo, PSI, PKPI, dan Partai Garuda. Sekjen Perindo Ahmad Rofiq menganggap, kenaikan ambang batas parlemen ini menjadi ancaman proses demokrasi. Kenaikan ambang batas parlemen ini semakin mengecilkan peluang mereka lolos pemilu legislatif.
“Ini nyata-nyata kita semua kecolongan. Nggak jelas kapan kajian akademis, kapan diskusi pendahuluan, eh tiba-tiba sudah menjadi prolegnas di DPR RI. Prioritas lagi! Kerja kilat!” kata Rofiq kepada wartawan, Minggu, 7 Juni.
Menambahkan, Sekjen PKPI Verry Surya Hendrawan menyebut akan menyuarakan penolakan ambang batas parlemen ke DPR RI. Penolakan ini juga didukung oleh tiga partai yang lolos Pemilu 2019, yakni PAN, PPP, dan Demokrat.
"Tentu saja juga (komunikasi) dengan para sahabat DPR RI yang mengusulkannya. Segera kami jadwalkan bertemu. Insya Allah kami semua hanya inginkan yang terbaik untuk bangsa dan negara tercinta ini,” ucap Verry.
Sementara Deputi Direktur Perludem Khoirunisa Nur Agustyati menganggap, ambang batas parlemen tak perlu dinaikkan menjadi 7 persen. Yang ia khawatirkan, tak ada keselarasan dari pemilihan legislatif dan eksekutif.
"Kalau ambang batasnya semakin besar khawatirnya ini akan berjalan masing-masing, jadi parpol tentu akan menyelamatkan dulu, yang penting lolos ambang batas yang besar ini, yang penting bisa melewati dulu ambang batas 7 persen ini," kata Khoirunisa.
Padahal, kata Khoirunnisa, tujuan adanya pemilu serentak antara eksekutif dan legislatif agar terciptanya efek ekor jas (coat tail effect), di mana dukungan dari pemilih calon presiden selaras dengan suara partai yang mengusungnya.
Namun, Khoirunisa memandang keselarasan itu akan memudar ketika partai sibuk menaikkan elektabilitas calon anggota legislatifnya masing-masing dan mengabaikan calon presiden.
"Tentu itu secara psikologis yang akan didahulukan ini (menyelamatkan ambang batas) dan ini yang mengakibatkan tidak kan berjalan beriringan antara dua pemilihan ini, padahal salah satu tujuan diserentakkannya pemilu antara eksekutif dan legislatif supaya adanya keselerasan lewat efek ekor jas yang kemudian berdampak pada hasil pemilunya," ujarnya.
Ambang batas masih bisa dinego
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa menyebut, rencana ambang batas parlemen sebesar 7 persen belum pasti dilaksanakan karena masih berupa gambaran umum dari usulan fraksi di DPR, khususnya Fraksi Golkar dan Nasdem. Sementara, ada alternatif lain dari PDIP, yakni dibuat berjenjang.
"Alternatif yang kedua, ada 5 persen untuk DPR RI, 4 persen DPRD Provinsi, 3 persen untuk DPRD Kabupaten/kota. Jadi, dari nasional, provinsi, kabupaten/kota itu parliementary treshold-nya beda-beda," kata Saan.
Usulan lainnya, kata Saan, ambang batas parlemen untuk DPR RI sebanyak 4 persen, lalu untuk DPRD di provinsi dan kabupaten/kota 0 persen. Usulan ini diajukan oleh PPP, PAN, dan PKS.
"Tentu, nanti ketika pembahasan akan ada dinamika dan saya yakin akan ada titik temu," ucap dia.