KSPI: PPKM Darurat dengan Penyekatan Tak Efektif Bagi Buruh!
JAKARTA - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat dengan metode penyekatan tak efektif bagi buruh manufaktur atau industri. Penyebabnya, mereka tidak bisa bekerja dari rumah seperti pegawai kantoran maupun jasa perdagangan.
"KSPI berpendapat PPKM Darurat yang metodenya melakukan penyekatan tidak efektif karena faktanya perusahaan-perusahaan pengelolaan manufaktur, pabrikasi masih bekerja 100 persen," kata Said Iqbal dalam konferensi pers secara daring, Kamis, 15 Juli.
Hal inilah yang lantas menjadi alasan mengapa penyebaran COVID-19 terjadi di pabrik sehingga menimbulkan klaster. Para buruh, kata Iqbal, tak bisa menjaga jarak saat melaksanakan produksi suatu barang.
"Dalam stasiun produksi tidak mungkin jaga jarak dan tidak mungkin ada WFH atau bekerja dari rumah sebagian 50 persen dari rumah. Tidak mungkin karena antar stasiun kerja itu terkait," tegasnya.
Baca juga:
- Update COVID-19 per 14 Juli: Kasus Baru Tembus 54.517 Orang
- Tak Hanya Tambah Titik Sekat PPKM Darurat, Polisi Buat Lagi Skema Baru Jam Penyekatan
- Kimia Farma Jualan Vaksin COVID-19 Rp879 Ribu, Pengusaha: Kalau Masyarakat Mampu Bayar, Sah-Sah Saja
- Sebelum Diperpanjang, Pemerintah Bakal Evaluasi PPKM Darurat
"Misalnya stasiun kerja nomor 1 kemudian loncat karena WFH dan WFO 50 persen enggak mungkin. Jadi kalau proses produksinya diliburkan ya semua libur karena dia supply chain, mata rantai yang tidak putus di industri pengolahan," imbuh Iqbal.
Lebih lanjut, Iqbal menyebut kalaupun pabrik melaksanakan bekerja dari rumah hal ini hanya bisa dilakukan di bagian kantor. Sedangkan pada buruh yang bekerja tidak mungkin melakukan kegiatannya dari rumah.
"Itulah yang menjelaskan banyak klaster tenaga kerja, buruh pabrik pengolahan yang lonjakan (terpapar COVID-19, red) tinggi sekali," ungkapnya.
Diberitakan sebelumnya, KSPI juga menyebut sekitar 10 persen persen buruh pabrik atau manufaktur terpapar COVID-19. Hal ini disebutnya sangat mengkhawatirkan dan membahayakan kelangsungan dunia usaha serta nyawa buruh.
Angka 10 persen buruh manufaktur yang terpapar COVID-19 itu didasari informasi di lapangan dari sejumlah perusahaan labour intensif padat karya maupun padat modal yang ada di wilayah Jabodetabek, Karawang, Purwakarta, Serang, Cilegon, Batam, Makassar, Gresik, Sidoarjo, Surabaya, Pasuruan, Medang, Semarang, Kendal, dan sejumlah kaswasan industri lainnya.