OECD Bawa Kabar Buruk: 22 Juta Orang Nganggur di Negara Kaya Gegara COVID-19, 3 Juta Lulusan Gagal Kerja

JAKARTA - Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memberikan kabar buruk. Menurut OECD, 22 juta pekerjaan di negara-negara kaya di dunia telah hilang akibat berkepanjangannya pandemi COVID-19 yang melanda dunia sejak 2020 lalu.

Dalam waktu enam bulan belakangan ini saja, jelas keterangan OECD, jumlah pengangguran meningkat 60 persen. Jumlah ini terus meningkat hingga kuartal I 2021.

Lembaga tersebut bahkan memproyeksikan, tingkat pengangguran akan berkembang pesat dalam jangka panjang. Menurut OECD, pemulihan ekonomi yang terjadi di berbagai negara pada saat ini belum bisa memulihkan pasar kerja.

"Pasar kerja kemungkinan baru pulih seperti masa sebelum pandemi pada 2023. Pemulihan ekonomi yang kuat sedang berlangsung di negara-negara OECD. Namun, itu belum sepenuhnya diterjemahkan ke dalam pekerjaan baru yang cukup untuk mengembalikan tingkat pekerjaan ke tingkat pra-pandemi di sebagian besar ekonomi anggota," ungkap OECD dalam laporannya, dikutip dari CNN Business, Jumat 9 Juli.

OECD juga mencatat pandemi COVID-19 bikin 3 juta orang yang baru lulus gagal mendapat pekerjaan. Ini jumlah yang besar dan membalikkan tren dalam satu dekade terakhir. Tak hanya penurunan lapangan kerja, OECD juga menyebut pandemi juga menurunkan penghasilan pekerja.

Penurunan paling terasa terjadi pada pekerja yang berpenghasilan rendah ketimbang yang tinggi. Tercatat, gaji mereka turun lebih dari 28 persen di seluruh negara maju.

Atas temuan ini, OECD memberi masukan kepada seluruh pemerintah untuk terus meningkatkan kualitas pekerja melalui berbagai pelatihan. Khususnya di sektor industri hijau dan digital serta sektor yang masih cukup efektif dijalankan meski ada pembatasan.

Di samping itu OECD juga meminta pemerintah setiap negara untuk tetap memberikan dukungan bantuan kepada pekerja, meski hal ini tak bisa diberikan terlalu lama karena akan menumpuk beban fiskal pemerintah.

"Penarikan dukungan fiskal terlalu cepat akan berisiko membahayakan pemulihan. Tapi di sisi lain, mempertahankan dukungan terlalu lama juga akan berisiko membahayakan kekuatan dan kualitas pemulihan jangka panjang dengan memperlambat realokasi modal dan tenaga kerja yang diperlukan di seluruh perekonomian," ujar Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann.