Studi Visa, Kaum Milenial Tertarik Gunakan Kripto untuk Bertransaksi
JAKARTA - Perusahaan kartu pembiayaan Visa pada hari Rabu 7 Juli menyatakan bahwa terdapat transaksi mata uang kripto sebesar lebih dari 1 miliar dolar AS (14 triliun rupiah) yang dihabiskan oleh konsumen secara global. Transaksi itu dipergunakan untuk belanja barang dan jasa melalui kartu kredit kripto mereka dalam enam bulan pertama tahun ini.
Sebagai perbandingan, Visa memperkirakan pengeluaran kripto hanya sebagian kecil dari jumlah transaksi pada periode yang sama tahun lalu dan 2019. Namun perusahaan raksasa pembayaran itu tidak merilis angka pastinya.
“Kami melakukan banyak hal untuk menciptakan ekosistem yang membuat mata uang kripto lebih bermanfaat dan lebih seperti mata uang lainnya,” kata CFO Visa Vasant Prabhu kepada CNBC.
“Masyarakat mengeksplorasi cara-cara di mana mereka dapat menggunakan mata uang kripto untuk hal-hal yang bisa mereka gunakan seperti mata uang normal. Ada banyak masalah dalam hal volatilitas, dll. Tapi itu terserah pemilik cryptocurrency untuk mengelola dan melacaknya,” ungkap Prabhu.
Menurut penelitian terbaru Mastercard, pesaing Visa, terdapat 93% konsumen di Amerika Utara yang berencana untuk menggunakan mata uang kripto atau teknologi pembayaran baru lainnya, seperti biometrik, pembayaran tanpa kontak, atau sistem kode QR, pada tahun depan.
Studi ini juga menunjukkan bahwa 75% dari kaum milenial akan menggunakan mata uang kripto jika mereka memahaminya dengan lebih baik.
“Kami melihat banyaknya volume di (jaringan) kami dari masyarakat yang membeli mata uang kripto di berbagai bursa dan sejauh yang kami lihat, tren itu terus berlanjut,” kata Prabhu.
Musim panas ini, Mastercard akan meluncurkan kartu dengan pertukaran kripto Gemini, yang didirikan bersama oleh miliarder Cameron dan Tyler Winklevoss. Kartu tersebut memungkinkan konsumen untuk mendapatkan mata uang kripto sebagai hadiah (reward). Namun, pemegang kartu tidak akan diizinkan untuk mengakses dompet digital mereka di internet.
Visa juga mengumumkan pada hari Rabu bahwa platform mata uang kripto FTX, yang didirikan oleh miliarder Sam Bankman-Fried, akan ditambahkan ke dalam Program Fast Track Fintech-nya, yang sebagian difokuskan untuk membuat mata uang kripto lebih praktis digunakan untuk membayar pengeluaran konsumen dan bisnis.
Baca juga:
Circle, BlockFi, dan Coinbase, yang sudah go public pada bulan April di Nasdaq, saat ini sudah menjadi mitra Visa, yang memungkinkan pemegang kartu kredit mereka untuk berbelanja dari dompet kripto mereka di lebih dari 70 juta merchant di seluruh dunia.
Visa memperkirakan kartu kredit kripto dan pembayaran baru lainnya termasuk biometrik dan kode QR berpotensi “mengganggu” penggunaan uang tunai dan cek secara global, yang besarannya mencapai 18 triliun dolar AS (261 kuadriliun rupiah) setiap tahunnya.
Kapitalisasi pasar Bitcoin sendiri kini mencapai 1 triliun AS (14,541 kuadriliun rupiah) untuk pertama kalinya pada bulan Februari dan mencapai level tertinggi sepanjang masa di angka 65.000 dolar AS (945 juta rupiah) per unit pada bulan April 2021 karena antusiasme investor ritel selama pandemi virus corona sebagai penyimpan nilai dan melindungi nilai inflasi. Namun, bitcoin telah turun sekitar 45% sejak itu. Bulan lalu, turun hingga berada di bawah 29.000 dolar AS.
Prahbu mengatakan Visa tidak memiliki rencana jangka pendek untuk menambahkan mata uang kripto ke neraca keuangannya seperti yang dilakukan Tesla, MicroStrategy, dan perusahaan lain baru-baru ini.
“Kami tidak menyimpan mata uang kripto di neraca kami hari ini. Kami memegang mata uang di neraca kami yang kami butuhkan untuk menjalankan bisnis kami. Kami memegang mata uang yang kami terima atau kami membayar orang. Itu cenderung dolar, euro, pound. Jadi kami tidak memiliki rencana untuk memegang mata uang kripto karena biasanya bukan cara kami dibayar atau cara kami membayar orang,” katanya.