Pedoman Implementasi Tak Selesaikan Masalah, Revisi UU ITE Diminta Segera Dilakukan
JAKARTA - Masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Serius Revisi UU ITE menyebut pedoman implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tak menyelesaikan masalah.
Koalisi ini menyebut Surat Keputusan Bersama Tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah ditandatangani oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung RI, dan Kepala Kepolisian RI ini tak memberikan kejelasan terhadap sejumlah pasal yang kerap dijadikan sarana kriminalisasi.
Tak hanya itu, sebelum ditandatangani, rancangan atau draft SKB tersebut tidak pernah dibuka ke publik. Hal ini kemudian membuat pedoman ini minim partisipasi masyarakat dan menunjukkan proses penyusunannya tidak terbuka.
"Padahal, partisipasi publik yang bermakna, efektif, dan inklusif merupakan bagian yang sangat penting dalam penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia. Tidak bisa hanya bersifat formal, akan tetapi harus berkelanjutan dan memasukan opini dan kekhawatiran masyarakat dalam setiap keputusan," kata perwakilan koalisi, Damar Juniarto dalam keterangan tertulis yang dikutip Jumat, 25 Juni.
Koalisi ini mengingatkan pedoman yang sudah berlaku sejak Kamis, 23 Juni ini tak boleh dianggap sebagai proses pengganti revisi UU ITE. "Penerbitan pedoman ini harus dianggap sebagai aturan transisi sebelum adanya revisi UU ITE," ungkapnya.
Damar juga meminta, praktik pembuatan pedoman untuk menjawab revisi undang-undang bermasalah di Tanah Air tak boleh jadi kebiasaan. Sehingga, koalisi ini mendesak UU ITE harus diprioritaskan.
"Salah satu langkah yang harus segera diambil oleh Pemerintah adalah segera melakukan pengajuan revisi dan pembahasan dengan DPR RI," tegas Damar.
Selain itu, mereka juga mendorong pemerintah untuk lebih terbuka dan partisipatif dalam proses penyusunan UU ITE dengan melibatkan masyarakat terdampak regulasi.
Lebih lanjut, koalisi juga mendesak moratorium kasus UU ITE. Alasannya, revisi perundangan semacam ini akan memakan waktu yang panjang.
"Moratorium kasus UU ITE menjadi penting untuk pemerintah – dan dalam hal ini, untuk tidak memproses kasus-kasus yang berhubungan dengan pasal-pasal karet tersebut," ungkap Damar.
"Selain itu, memulihkan korban yang sudah terbukti dijerat pasal-pasal karet UU ITE adalah sebuah bentuk hak asasi yang harus penuhi dan dilakukan oleh negara sekarang, sesuai dengan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang juga sudah diratifikasi oleh Indonesia," pungkasnya.