Tagar IndonesiaTerserah adalah Ekspresi Kebingungan Masyarakat
JAKARTA - Tagar IndonesiaTerserah masih menjadi trending di jagat media sosial khususnya Twitter sejak kemarin. Tagar ini trending karena sebuah sindiran kepada masyarakat yang tidak patuh protokol kesehatan di tengah pandemi COVID-19.
Tagar ini kemudian dianggap sebagai ekspresi kebingungan masyarakat terkait kebijakan pemerintah yang inkonsisten dan sering berubah-ubah. Hal ini disampaikan oleh pengamat sosial media, Eddy Yansen.
"Munculnya luapan tagar IndonesiaTerserah ini sebagai bentuk kebingungan masyarakat pada kebijakan pemerintah yang tidak konsisten," kata Eddy saat dihubungi VOI lewat pesan singkat, Selasa, 19 Mei.
Kebingungan ini dirasa wajar, karena banyak pesan dari pemerintah yang tidak searah selama pandemi ini terjadi. Pemerintah seperti bingung melangkah, karena di satu sisi langkah yang diambil untuk menangani krisis kesehatan tapi di sisi lain, langkah ini diutamakan untuk menyelamatkan ekonomi.
Dia kemudian memberi contoh kebijakan yang membuat bingung masyarakat adalah, di satu sisi kantor dilarang untuk dibuka sementara di sisi lain perusahaan diimbau tidak melakukan PHK.
"Di satu sisi (masyarakat) diimbau tidak melakukan mudik tapi di sisi lain penerbangan kembali di buka. Masyarakat bingung, itu pesan keras dari tagar ini," tegas dia.
Jika terus menerus ketidaksesuaian itu ditunjukkan kepada publik, bukan tak mungkin, nantinya kepercayaan publik akan makin menurun.
Sehingga, penting bagi pemerintah untuk mampu berkomunikasi dengan baik kepada masyarakat dan menjadi pembuat aturan yang baik di tengah pandemi ini. Tujuannya, agar masyarakat semakin tenang dan tidak bingung.
Baca juga:
Fenomena yang saling terkait
Sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Tantan Hermansyah juga ikut berkomentar. Kata dia, tak pedulinya masyarakat dengan anjuran pemerintah dan ramainya tagar #IndonesiaTerserah ini tidak bisa dipisahkan bahkan saling melengkapi.
Ada dua alasan yang dipaparkan oleh Tantan. Pertama, kata dia, dua hal ini sebenarnya menunjukkan jika pemerintah tak bisa memberikan kenyamanan lewat beragam kebijakannya dalam mengatasi wabah COVID-19.
Sehingga, akibat ketidakpastian tersebut banyak korban yang berjatuhan akhirnya dan bukan hanya dari masyarakat melainkan dari tenaga medis.
"Kedua, dampak dari kebijakan yang tidak pasti tersebut maka akhirnya banyak orang yang mencoba mencari celah. Awalnya memang hanya mencari celah, tapi jika terakumulasi dengan baik secara jumlah peristiwa atau jumlah massa itu bisa dikatakan bentuk penentangan," kata Tantan.
Penentangan sosial seperti ini sebenarnya adalah gaya penduduk Indonesia sejak zaman penjajahan dulu. "Mereka melakukan perlawanan diam-diam sampai akhirnya menggelembung jadi perlawanan masif," ungkap dia.
Sebagai kepala negara, kata Tantan, Presiden Joko Widodo harus hadir untuk menepati janjinya dan taat pada konstitusi yang berlaku. Kehadiran negara dalam sistem kehidupan masyarakat saat ini harus segera dilakukan, dengan tidak menarik ulur kepentingan.
"Pemerintah pasti memiliki sejumlah ahli yang bisa menghitung keuntungan kerugian dari setiap kebijakan tanpa harus terlihat sebagai tarik ulur kepentingan," tegas sosiolog ini.
Menurut Tantan, di era media sosial seperti sekarang segala kejadian kecil bisa membesar hanya karena disambut oleh banyak orang. Sehingga, segala kebijakan harus jelas dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. "Jika sudah seperti ini, maka rakyat akan menunggu kebijakan yang jelas, tegas, fokus, dan benar-benar tidak diskriminatif," ujarnya.
Doni minta masyarakat tak bikin kecewa tenaga medis
Tagar ini juga telah dikomentari oleh pemerintah. Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Doni Monardo meminta agar masyarakat tetap menjalankan protokol kesehatan.
Apalagi, masyarakat adalah ujung tombak untuk memutus penyebaran virus ini dan jika masyarakat tak memenuhi protokol kesehatan, maka bukan tak mungkin para tenaga medis terutama dokter menjadi kecewa.
"Kami tidak berharap kalangan dokter kecewa. Sejak awal kami selalu mengedepankan bahwa ujung tombak kami adalah masyarakat," kata Doni dalam konferensi pers usai rapat terbatas mengenai percepatan penanganan COVID-19 yang ditayangkan di akun YouTube Sekretariat Presiden, Senin, 18 Mei.
Dia mengingatkan, jika masyarakat tak menaati protokol kesehatan yang telah ditetapkan kemudian terpapar dan harus dirawat di rumah sakit, padahal tempat perawatan dan tenaga medisnya terbatas maka yang akan repot adalah para dokter dan perawat.
Apalagi, jumlah dokter di Indonesia lebih sedikit dibandingkan jumlah dokter di negara lain. Sehingga, sejak awal pemerintah selalu membahas perlindungan bagi tenaga medis di tengah pandemi COVID-19.
"Total dokter kita kurang dari 200 ribu orang. Dokter paru hanya 1.976 orang. Artinya satu dokter paru harus melayani sekitar 245 ribu warga Indonesia. Sehingga bila kita kehilangan dokter, maka ini kerugian yang besar buat negara kita," tegasnya.
Sehingga, ke depan, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) ini meminta agar semua pihak bisa menjalankan protokol kesehatan dan aturan dalam UU 6/2018 tentang Kedaruratan Nasional.
Hal ini perlu dilakukan oleh masyarakat di tengah pandemi seperti sekarang ini. "Sekali lagi mari kita bekerja sama saling mengingatkan mencegah dan menghindari jangan sampai kita menjadi sakit," pungkasnya.