Sejarah Pulitzer Prizes: Kerja Keras Joseph Pulitzer dalam Dunia Jurnalistik

JAKARTA - "Leise, ganz leise," tutur Joseph Pulitzer sebelum meninggal dunia. Dalam bahasa Indonesia, ungkapan itu berarti: Dengan lembut, cukup lembut. Peristiwa itu terjadi 29 Oktober 1911, ketika Pulizer sedang mendengarkan sekretaris Jermannya membacakan dengan lantang tentang Raja Louis XI dari Prancis.

Pulitzer adalah penerbit surat kabar St Louis Post-Dispatch dan New York World. Ia menjadi tokoh nasional terkemuka Partai Demokrat dan terpilih sebagai anggota kongres dari New York.

Pulitzer juga berjuang melawan bisnis besar dan korupsi, serta membantu menjaga Patung Liberty di New York. Selain itu, Pulitzer adalah pencetus adanya Penghargaan Pulitzer, sebuah penghargaan paling bergengsi di dunia dalam bidang jurnalistik. 

Pria kelahiran 1847 ini memiliki peluang karier yang luar biasa yang datang dengan cara unik. Pulitzer saat itu sedang berada di ruang catur perpustakaan, mengamati kebiasaan dua pemain dan dengan cerdik Pulitzer mengkritik sebuah gerakan.

Para pemain, terkesan, lalu melibatkan Pulitzer dalam percakapan. Para pemainnya adalah editor harian bahasa Jerman terkemuka, Westliche Post, dan tawaran pekerjaan pun menyusul.

Terbangunnya reputasi Pulitzer

Pulitzer (Sumber: Commons Wikimedia)

Seperti dikutip dari pulitzer.org, disebutkan bahwa pada 1872 Pulitzer muda yang membangun reputasi sebagai jurnalis giat yang tak kenal lelah, ditawari kepemilikan saham pengendali di koran oleh pemilik yang hampir bangkrut.

Pada usia 25 tahun, Pulitzer menjadi penerbit dan di sana mengikuti serangkaian kesepakatan bisnis yang cerdik dari mana ia muncul pada 1878 sebagai pemilik St Louis Post-Dispatch, dan sosok yang naik daun di kancah jurnalistik.

Pulitzer lalu menikahi Kate Davis, seorang wanita terkemuka di Washington. Pulitzer lalu menjadi warga negara Amerika dan memiliki karier lainnya yaitu sebagai pembicara, penulis, dan editor yang menguasai bahasa Inggris dengan sangat baik.

Berpakaian elegan, berjanggut coklat kemerahan dan menggunakan kacamata membuat Pulitzer semakin terlihat tampan. Pulitzer mulai bergaul dengan elit sosial St. Louis, menikmati menari di pesta-pesta mewah dan menunggang kuda di taman. Gaya hidup ini tiba-tiba ditinggalkan ketika dia menjadi pemilik St Louis Post-Dispatch.

James Wyman Barrett, editor terakhir The New York World, mencatat dalam biografinya 'Joseph Pulitzer and His World' bagaimana Pulitzer mengatur St Louis Post-Dispatch, "bekerja di mejanya dari pagi hingga tengah malam atau setelahnya, menarik dirinya sendiri di setiap detail kertas."

Ilustrasi foto (Sumber: Commons Wikimedia)

Pulitzer memohon kepada publik untuk menerima bahwa jurnalnya adalah pendukung mereka. Pulitzer juga merilis artikel investigasi dan editorial yang menyerang korupsi pemerintahan, penghindar pajak, dan penjudi.

Daya tarik ini efektif, sirkulasi meningkat, dan surat kabar menjadi makmur. Pulitzer sangat senang mengetahui bahwa dalam pelaksanaan sistem Penghargaan Pulitzer yang kemudian dia dirikan, lebih banyak penghargaan dalam jurnalisme diberikan untuk pembongkaran korupsi daripada subjek lainnya.

Pulitzer membayar mahal untuk kerja kerasnya yang tak tanggung-tanggung di korannya. Kesehatannya menurun matanya rusak. Kesehatan Pulitzer semakin menurun dan mengalami depresi berat karena penyakit yang membuatnya sangat peka terhadap kebisingan. Pulitzer lalu ke luar negeri mencari pengobatan, namun gagal menemukannya.

Dua dekade berikutnya hidupnya dia menghabiskan sebagian besar hidupnya di "brankas" kedap suara di atas sebuah yacht. Selama tahun-tahun itu, meskipun dia sangat sering bepergian, Pulitzer berhasil mempertahankan editorial dan arah bisnis korannya.

Untuk memastikan kerahasiaan dalam komunikasinya, dia mengandalkan kode yang mengisi sebuah buku yang berisi sekitar 20.000 nama dan istilah. Pada 1912, satu tahun setelah kematian Pulitzer, Sekolah Jurnalisme Columbia didirikan.

Penghargaan Pulitzer pertama dianugerahkan pada 1917 di bawah pengawasan dewan penasihat tempat ia mempercayakan mandatnya. Pulitzer membayangkan sebuah dewan penasihat yang sebagian besar terdiri dari penerbit surat kabar. Yang lainnya termasuk presiden Universitas Columbia dan para cendekiawan, dan 'orang-orang terhormat yang bukan jurnalis atau editor.'

*Baca Informasi lain soal SEJARAH DUNIA atau baca tulisan menarik lain dari Putri Ainur Islam.

MEMORI Lainnya