Kenyataan di Lapangan, Bantuan Sosial Pemerintah Tidak Tepat Sasaran Itu Benar Adanya
JAKARTA - Di masa pandemi virus corona atau COVID-19, salah satu kebijakan yang dapat menolong masyarakat adalah bantuan sosial (Bansos). Namun, sayangnya bantuan yang dapat langsung dirasakan masyarakat ini pembagiannya tidak merata dan cenderung tak tepat sasaran.
Keputusan pemerintah untuk menerapkan sistem pembatasan sosial berskala besar (PSBB), work from home, dan stay at home membuat gerak masyarakat semakin sulit. Aktivitas ekonomi berhenti. Mereka yang terpaksa diberhentikan dan kehilangan mata pencaharian akibat kebijakan ini, justru tak tersentuh program jaring pengaman sosial yang anggarannya mencapai Rp110 triliun.
Tim VOI berkesempatan bertemu dengan Ivan yang sehari-hari berprofesi sebagai driver ojek online (ojol). Saat ditemui, Ivan mengatakan, bantuan sembako dari pemerintah pusat tak sampai kepadanya. Begitu pula dengan bantuan dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.
Ivan mengatakan, akibat diberlakukannya PSBB pendapatannya berkurang. Sebab, ojek daring saat ini tidak lagi boleh beroperasi mengantar orang. Tak hanya itu, Ivan juga mengaku, kesulitan untuk membayar biaya sewa tempat tinggal dan akhirnya diusir karena sudah menunggak selama lima bulan.
"Lima bulan belum bayar. Saya sekeluarga akhirnya numpang di rumah orang tua. Karena enggak boleh balik ke kontrakan kalau belum bayar. Bantuan sembako dari pemerintah juga enggak ada" tuturnya, kepada VOI, di Jakarta, Sabtu, 9 Mei.
Tak hanya itu, Ivan mengaku, sebelum pandemi COVID-19 kendaraan roda dua yang dibelinya, terpaksa harus kembali digadaikan untuk menutup biaya operasi wasir yang dideritanya.
"Tiga bulan sebelum COVID-19 harusnya lunas. Tapi karena saya harus operasi, uang yang harusnya untuk kebutuhan lain jadi untuk bayar kredit," jelasnya.
Ivan tinggal di Wisma Ciliwung, Jakarta Selatan. Bangunan tempat tinggal Ivan dulunya adalah asrama haji, namun oleh pengelola disewakan untuk menjadi tempat tinggal. Harga sewa kamar dengan ukuran kecil dan bertembok tripleks sebesar Rp500 ribu.
"Karena kondisi sulit kaya gini, saya mencari berbagai cara. Lapor ke Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga. Saya juga ikut daftar Kartu Prakerja. Karena setahu saya di sana ada bantuan uang tunai Rp600 ribu. Bagi saya ini sangat merepotkan, tapi karena maunya pemerintah begini ya ikuti saja," tuturnya.
Dihubungi terpisah, pedagang lauk matang keliling di daerah Ancol, Rosmiati, mengaku pendapatannya terus menurun setiap harinya setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan PSBB dan work from home.
Rosmiati menjelaskan, sebelum pandemi dirinya sempat bekerja di kantin Pertamina (perkapalan) yang ada di Tanjung Priok dengan bayaran Rp100 ribu per hari. Namun, pada tanggal 15 Maret seluruh kantor BUMN termasuk Pertamina diliburkan. Ia terpaksa berhenti dan kembali berjualan lauk keliling.
"Saya kembali jualan keliling tapi omzet dari hari ke hari menurun. Saya coba bertahan tapi bukan membaik, terus menurun drastis apalagi jalan banyak yang ditutup. Apalagi sejak PSBB diberlakukan, jualan rugi terus dan modal habis terkuras," tutur Rosmiati.
Baca juga:
Pada 12 April, Rosmiati berhenti berjualan karena terus merugi. Lantaran langganannya banyak yang memilih untuk berhemat dengan memasak sendiri di rumah karena sulitnya kondisi saat ini.
"Saya bingung, kontrakan rumah dan air sudah dua bulan belum terbayar, listrik pakai token, belinya sedikit-sedikit Rp20.000 setiap beli. Sempat ada harapan ketika pemerintah mau memberi bantuan, tapi kenyataannya sampai hari ini saya tidak dapat," tuturnya.
Menurut Rosmiati, untuk mendapatkan bantuan baik dari Pemprov DKI Jakarta maupun pemerintah pusat dirinya sudah menyerahkan surat-surat penting sebagai syarat. Sampai saat ini, bantuan tersebut tak kunjung datang.
"Saya sudah menyerahan foto copy KK dan KTP melalui RT tanggal 13 April. Tapi belum dapat. Sehari sebelum Ramadan saya dapat sembako dari orang yang suka nyuruh saya masak di rumahnya," jelasnya.
Lebih lanjut, Rosmiati mengungkapkan, atas kebijakan RT setempat akhirnya dirinya mendapat bantuan dari pemerintah. Namun, satu paket sembako yang harusnya diperuntukan untuk satu KK, harus dibagi untuk tiga KK. Pada 30 April, bantuan datang namun bukan berasal dari Pemprov DKI Jakarta melainkan dari Polres Metro Jakarta Utara.
"Saya berharap Pemda DKI memenuhi janjinya untuk orang-orang terdampak. Tapi melihat amburadulnya data saya jadi pesimis. Mudah-mudahan saya bisa melewati musibah ini dengan selamat, sehat jiwa raga,"
Pemerintah Pusat Akui Pembagian Bansos Berantakan
Kementerian Sosial menjadi sorotan publik di tengah pandemi virus corona atau COVID-19 ini. Hal ini karena banyaknya keluhan dari masyarakat yang belum tersentuh bantuan sosial (bansos). Padahal, anggaran untuk social safety net atau jaring pengaman sosial yang dikeluarkan APBN mencapai Rp110 triliun.
Menteri Sosial Juliari Batubara mengatakan, dalam kondisi abnormal seperti saat ini, pemerintah harus bergerak cepat memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun, ia mengaku, pendataan calon penerima bantuan belum sepenuhnya tepat sasaran.
"Saya bahkan bilang, saya lebih pilih (bansos turun) cepat saat ini daripada tepat. Kenapa? Kalau tidak tepat bisa diselesaikan dan itu saya buktikan sendiri. Daripada kami sibuk memverifikasi, memvalidasi ulang data memastikan tepat sasaran COVID-19 sudah selesai, bansos baru turun," tuturnya, dalam rapat kerja dengan Komisi VIII bersama Menteri Desa Pembangungan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi secara virtual, Rabu, 6 Mei.
Menurut Juliari, di saat kondisi seperti ini pemerintah dalam hal ini Kementerian Sosial harus memilih salah satu. Sehingga, keputusan yang diambil adalah penyaluran bantuan sosial secara cepat, agar masyarakat dapat segera terbantu.
"Tidak bisa dua-duanya cepat sekali dan tepat sekali. Saya kira tidak mungkin. Kita bukan satu negara yang mempunyai infrastruktur data canggih," ucapnya.
Juliari mengatakan, Kemensos menerima data sepenuhnya dari dinas sosial. Menurutnya, tidak ada sumber data lain yang digunakan Kemensos dalam menentukan penerima bansos.
"Kemensos terima dan tidak akan cek lagi. Kenapa? Karena tidak punya waktu. Ini hanya tiga bulan program ini. Kalau waktu kami hanya dihabiskan untuk cek ke lapangan, COVID-nya selesai, bantuannya belum datang,"
Tumpang Tindih Sasaran
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui, adanya tumpang tindih sasaran dalam penyaluran dana bantuan sosial dalam sejumlah program yang dijalankan pemerintah untuk mendukung masyarakat miskin yang terdampak pandemi.
Namun, menurut Sri, hal itu jauh lebih baik ketimbang mereka tidak mendapatkan dukungan apa-apa di masa yang sulit seperti saat ini.
"Banyak yang menanyakan apakah kemungkinan akan ada tumpang tindih? Kemungkinan itu ada. Tetapi itu mungkin lebih baik, daripada tidak dapat," tuturnya, dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Jumat, 8 Mei.
Lebih lanjut, Sri Mulyani mengatakan, saat ini pemerintah telah menyalurkan bantuan sosial kepada masyarakat Jabodetabek dan non Jabodetabek sebesar 55 persen dari total masyarakat Indonesia.
"Kita sudah mencakup lebih dari mendekati 55 sampai 59 persen dari penduduk Indonesia mendapatkan Bansos. Entah dalam bentuk sembako atau BLT maupun yang ada di dalam kartu sembako," ucapnya.
Perlu Libatkan Lembaga Independen dalam Pendataan
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad menilai, tumpang tindih bantuan antara pusat dan daerah, serta tidak tepatnya sasaran pemberian bantuan sosial di masa pandemi ini karena data yang digunakan tidak diverifikasi.
Apalagi, kata dia, akibat pandemi masyarakat miskin bertambah jumlahnya. Sedangkan data yang digunakan adalah base line Kementerian Sosial tahun 2015 yang diperbaharui tahun 2016. Pada dasarnya, Kemensos meminta daerah untuk memperbaharui data secara berkala enam bulan sekali. Namun, daerah memiliki kendala untuk hal ini.
"Dalam jangka empat tahun kan ekonomi masyarakat sudah mengalami perubahan," tuturnya, saat dihubungi VOI, Selasa, 12 Mei.
Menurut Tauhid, meskipun jaring pengaman sosial ini hanya berlaku untuk tiga bulan, tetapi dalam kondisi krisis saat ini tetap perlu dilakukan verifikasi dan validasi data calon penerima bantuan. Sebab, hal ini untuk menghindari konflik sosial di tengah masyarakat.
"Verifikasi tetap menjadi bagian penting karena satu untuk mendapat bantuan. Kedua, bisa menjadi solusi pemerintah hadir di tengah-tengah masyarakat untuk menanggulangi konflik sosial yang terjadi. Masalah-masalah sosial itu kan tidak bisa dipenuhi sendiri," jelasnya.
Lebih lanjut, Tauhid mengaku, khawatir data yang tidak diverifikasi ini bisa digunakan sebagai base line untuk memberikan Bansos pada krisis yang mungkin akan datang pada tahun berikutnya.
"Bagaimana kalau ini berlanjut sampai lebih dari tiga bulan. Menurut saya tetap perlu (verifikasi) karena takutnya nantinya data-data yang digunakan ketika memberi bantuan tanpa verifikasi untuk tahun berikutnya pasti akan menjadi error yang besar sekali. Terus dijadikan base line, padahal tidak diverifikasi, bahaya," katanya.
Tauhid mengatakan, dengan dilakukannya verifikasi pemerintah dapat mengetahui masyarakat yang sudah dan belum mendapatkan bantuan. Sehingga, mereka yang berhak namun belum tersentuh bantuan pemerintah dapat tertolong.
Menurut Tauhid, untuk tahap pertama pembagian Bansos masih dimaklumi jika terjadi tumpang tindih dan tidak tepat sasaran. Namun, pemerintah harus melakukan berbagai upaya agar hal ini tidak terjadi pada periode pembangian Bansos selanjutnya. Karena itu, menurut dia, pemerintah perlu melibatkan lembaga independen untuk pendataan penerima Bansos, hal ini guna menghindari distorsi di lapisan bawah.
"Kalau instrumen (pendataan) melalui instrumen organisasi pemerintah melalui RT/RW tanpa orang independen dari BPS dan sebagainya, susah. Karena mereka bukan orang yang ahli atau orang yang paham dengan situasi seperti ini. Tetap harus ada orang yang paling paham bagaimana memverifikasi data, itu problemnya," tuturnya.