Napi Asimilasi Paling Banyak Tertangkap di Jateng, Jabar dan Sumut
JAKARTA - Narapida asimilasi yang kembali berulah jumlahnya mencapai 106 dari 38.882 orang. Berdasarkan data, mereka paling banyak tertangkap kembali di tiga kota, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera Utara.
Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan mengatakan, ratusan narapida itu tertangkap kembali hampir seluruh kota di Indonesia. Namun, hanya di tiga kota itu yang jumlahnya lebih banyak.
"Terdapat 13 narapidana asimilasi di Jawa Tengah dan Sumatera Utara yang kembali melakukan tindak pidana, 11 napi asimilasi di Jawa Barat. 3 daerah tersebut menujukkan angka tertinggi pengulangan tindak pidana oleh napi asimilasi," ucap Ahmad di Jakarta, Selasa, 12 Mei.
Merujuk data yang ada, ratusan narapidana itu paling banyak terlibat lagi pada kejahatan jalanan. Mereka tertangkap atau terbukti terlibat pencurian dan pembegalan. Selain itu, beberapa di antara mereka juga ditangkap karena terlibat kasus penyalahgunaan narkotika.
Bahkan, para narapidana asimilasi itu sangat berbahaya bagi anak-anak. Tindak kejahatan pencabulan anak menjadi salah satu perbuatan yang dilakukan mereka.
"Jenis kejahatan yang umum dilakukan oleh para napi asimilasi sesuai data adalah pencurian dengan pemberatan (curat), pencurian dengan kekesaran (curas), curanmor, penyalahgunaan narkoba, penganiayaan dan juga pencabulan terhadap anak," kata Ahmad.
Baca juga:
Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly melalui Dirjen Pemasyarakatan Reynhard Silitonga menyebut, narapidana asimilasi yang kembali berulah hanya 0,2 persen dari total 38.882 narapidana. Selain itu, angka residivis di Indonesia pun lebih rendah jika dibandingkan dengan negara lain.
Untuk itu, masyarakat tak perlu khawatir dengan kebijakan asimilasi tersebut. Terlebih, lembaga permasyarakatan (lapas) merupakan tempat untuk membina para pelaku kejahatan agar berkelakuan lebih baik, bukan hanya tempat pemberian hukuman.
Kriminolog Universitas Indonesia Adrianus Meliala sepakat dengan program asimilasi yang betujuan mencegah penyebaran COVID-19 di lapas dan rumah tahanan (rutan). Berdasarkan datanya, hanya 55 narapidana yang kembali berulah dan semuanya sudah ditindak kepolisian.
"Bisa dibilang begitu (asimilasi berhasil). Yang pasti profil Indonesia (angka residivis) tidak beda dengan profil dunia," ucap Adrianus kepada VOI, Jumat, 8 Mei.
Namun, Adrianus mengatakan, masyarakat tetap khawatir dengan keberadaan narapidana asimilasi di tengah mereka. Rasa khawatir ini, kata Adrianus, disebabkan paradigma masyarakat tentang narapidana. Mereka yang sempat menjalani masa tahanan di lapas selalu dipandang negatif masyarakat.
"Masyarakat kan dari dulu berpandangan narapidana sebagai penjahat yang tak akan sembuh. Sudah keluar lapas pun tetap dicap penjahat. Masih dicurigai di mana-mana. Jadi, wajar saja kalau sekarang pun begitu," papar Adrianus.
Kemenkumham membebaskan sebagian narapidana dan anak-anak untuk mencegah penyebaran virus corona atau COVID-19. Pembebasan sebagian narapidana itu akan melalui asimilasi dan pembebasan bersyarat.
Hal ini sesuai dengan surat keputusan bernomor M.HH -19.PK.01.04.04. Tahun 2020 yang berisi tentang pengeluaran dan pembebasan narapidana dan anak melalui asimilasi dan integrasi adalah upaya pencegahan dan penyelamatan narapidana dan anak yang berada di Lembaga Pemasyarakatan, Lembaga Pembinaan Khusus Anak, dan Rumah Tahanan Negara dari penyebaran COVID-19.
Namun, ada beberapa ketentuan atau aturan lainnya bagi narapidana dan anak yang akan dibebaskan melalui asimilasi. Pertama, bagi narapidana yang dua pertiga masa pidananya jatuh pada 31 Desember 2020 dan kemudian bagi anak setengah masa pidananya jatuh pada 31 Desember 2020.
Syarat kedua, yakni, narapidana dan anak tersebut tidak terikat dengan PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan tidak sedang menjalani subsider, serta bukan warga negara asing.
Sementara, ketentuan narapidana dan anak yang dibebaskan dengan cara integrasi, yakni pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, dan cuti menjelang kebebasan adalah narapidana yang telah menjalani dua pertiga masa pidananya. Sementara bagi anak adalah mereka yang telah menjalani setengah masa pidananya.