Panduan Memahami Segala Permasalahan dalam Kisruh Gelaran Musik

Sebutlah konser dan festival musik sebagai industri. Maka, sejatinya industri ini baru saja mulai dibangun. Lokatara Fest 2019 yang gagal datangkan enam headliners hingga Musikologi yang berujung aksi perusakan dan pembakaran oleh oknum penonton barangkali adalah tahapan yang memang harus dilalui. Tentu jangan asal melalui. Industri ini harus belajar. Semua pelakunya perlu berbenah. Ini adalah artikel pamungkas dari Seri Tulisan khas VOI, "Mengusik Gelaran Musik". Mari lihat persoalan ini secara utuh.

Sepekan sejak Lokatara Fest 2019 gagal mendatangkan enam headliners-nya pada 23 November, sebuah festival musik lain bertajuk Musikologi 2019 turut mengalami petaka akhir pekan lalu. Acara yang ngaret menyebabkan dua penampil utama, Fourtwnty dan Feel Koplo urung naik panggung. Akibatnya, penonton murka. Perusakan dan pembakaran menutup gelaran musik yang diinisiasi sekelompok mahasiswa sebuah kampus itu. Sebelumnya, pesta distorsi Jakarta Rock Space dan beberapa konser --Ari Lasso dan GIGI-- juga batal.

Nama Argia Adhidhanendra langsung muncul di kepala ketika kekacauan ini dimulai. Argia adalah pendiri Noisewhore, sebuah kolektif musik yang bisa dibilang cukup bertanggung jawab menulari semangat menggarap hajat musik di kalangan anak muda. Jika melihat perkembangan industri ini, kita akan melihat bagaimana konser Fazerdaze pada 2017 jadi pemicu menjamurnya gelaran musik skala menengah lain di Ibu Kota. Sejatinya, virus yang ditularkan Noisewhore tak buruk. Tapi, geliat luar biasa dalam industri ini sayangnya tak dibarengi dengan edukasi yang baik.

Argia menyoroti sejumlah hal. Pertama adalah tren kurasi bernama YouTube-core yang ikut menjamur di sekeliling industri. YouTube-core adalah sebuah istilah --jika tak ingin disebut sub-genre baru-- untuk menyebut musisi-musisi yang banyak ditonton dan didengar di platform-platform streaming musik, baik Spotify, Deezer, hingga YouTube. Tak sepenuhnya salah. Berbagai aplikasi penghimpun data streaming tentu memudahkan para penyelenggara gelaran musik membaca pasarnya. Namun, YouTube-core jadi penyakit pemicu kejenuhan ketika diterapkan oleh semua penyelenggara.

Sederhana saja. Saat penyelenggara melihat data yang sama, maka peluang mereka mendatangkan nama-nama penampil dari gerbong alternatif jadi semakin kecil. Keberagaman lagi-lagi gagal terwujud. Padahal, Argia sendiri memulai kiprah Noisewhore dengan kurasi mandiri yang bahkan cenderung personal. Bukan berarti tak mengenal perangkat dan aplikasi penghimpun data streaming. Namun, Noisewhore menjaga skema kurasi mereka berdasarkan kesukaan pribadi. Idealisme itu, bagi Argia mampu menjaga muruah Noisewhore sebagai pemberi alternatif dalam gelaran musik.

Pendiri Noisewhore, Argia Adhidhanendra (Yudhistira Mahabharata/VOI)

"Ya, walaupun orangnya ganti-ganti, tapi kurasinya mostly dari gue. Cuma, gue selalu tanya anak-anak, kayak 'Lo demen enggak?' Ada beberapa artis yang gue suka banget, anak-anak bilang enggak. Tapi, biasanya gue yang lempar ide," tutur Argia saat VOI temui di MBloc Space, Blok M, Jakarta Selatan, Rabu, 27 November.

Selain pilihan yang makin sempit, tren YouTube-core juga menyebabkan rusaknya harga musisi kelas menengah dari negeri luar. Kesamaan data mendorong penyelenggara gelaran musik berebut musisi untuk didatangkan. Hal ini menyebabkan proses bidding war makin ketat. Kondisi ini dimanfaatkan agen-agen dari musisi kelas menegah negeri luar memainkan harga. Bagi Noisewhore yang memulai kiprah tanpa dana berlebih-lebih, perkara ini jelas menyulitkan. Apalagi, Argia mengaku antisponsor. Berat memang ketika dihadapi pada realita. Tapi, Noisewhore memilih menghadapi konsekuensi itu.

Argia tentu saja bicara dari sisi penyelenggara. Dari sisi musisi, kami menemui Eet Sjahranie. Pentolan band rock legendaris Edane itu jelas jadi lawan bicara yang tepat. Sejak tahun 90-an, ia telah malang melintang di panggung musik. Jumlah konser atau festival yang ia jajaki pun bukan main banyaknya. Jumlah yang tak lagi ia ingat kala kami tanyai. Dari sudut pandangnya, Eet justru mengkritik cara penyelenggara gelaran musik memelihara hubungan dengan para musisi. Di mata Eet, begitu banyak penyelenggara musik hari ini yang melihat band sebagai komoditas semata. Tiada lagi etika.

Gitaris Edane, Eet Sjahranie (Yudhistira Mahabharata/VOI)

"Padahal dulunya (penyelenggara) merengek minta kita bantu main di event itu ... Lalu, (sekarang) mereka misalnya nego. Harga kita ceban, misalnya ditawar goceng karena mereka merasa kita yang butuh panggung. Sebenarnya nawar itu wajar saja. Tapi kalau dalam kondisi kayak gitu, kalau awal-awal lo minta tolong, lain ceritanya, bos. Dan banyak yang sekarang kayak gitu," tutur Eet ditemui VOI di kediamannya di Cimanggis, Depok, Jawa Barat, Kamis, 28 November.

Lebih buruk lagi, Eet turut bercerita tentang banyaknya penyelenggara yang terlalu inferior. Perbedaan cara penyelenggara memperlakukan band lokal dengan band internasional, misalnya. Bukan pembandingan tak berdasar. Eet juga sadar, keistimewaan adalah berkah bagi nama besar band internasional yang telah lebih dulu memulai industri. Namun, membangun industri dalam negeri dengan sikap inferior jelas salah. Dan jika banyak penyelenggara musik yang menyebut gerakan mereka sebagai dukungan bagi musisi lokal, pernyataan Eet seharusnya masuk akal.

Jangan sampai terjadi penjajahan dalam industri ini. Penjajahan yang ironinya dilakukan anak bangsa sendiri terhadap anak bangsa lainnya. Penjajahan yang celakanya dimulai kala industri ini baru saja dibangun di dalam negeri. "Gue enggak ngerti masalahnya di mana. Cuma, kebanyakan kita itu kan kalau sudah bule yang minta, ngangguk ... Penjajahan, memang. Itu bahasa yang ingin gue sampaikan sebenarnya," ucap Eet.

Pisau dua mata bernama sponsor

Satu hal yang disepakati Argia atau pun Eet barangkali adalah soal keterlibatan sponsor dalam industri gelaran musik. Keduanya sama-sama menggambarkan sponsor sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi, sponsor dapat mengakselerasi perkembangan industri. Namun, di sisi lain, sejatinya sponsor juga yang secara disadari atau tidak jadi kendala perkembangan industri.

Di mata Argia, sponsor adalah hambatan bagi industri gelaran musik untuk berkembang secara alami. Memang, sponsor meningkatkan kemampuan para penyelenggara mendatangkan musisi dan menggelar acara yang lebih berkualitas. Namun, dengan situasi industri yang baru berkembang, sponsor justru berpotensi mengaburkan kepentingan yang lebih besar soal edukasi.

Edukasi yang dimaksud adalah bagaimana penyelenggara gelaran musik mengkurasi musisinya. Kehadiran sponsor, sedikit banyak akan memengaruhi kurasi dalam sebuah gelaran musik. Dari segi ini, tujuan memperkenalkan musik dalam skena yang lebih luas dapat terhambat. Lainnya, kehadiran sponsor di waktu yang masih dini ini akan mengurangi kemandirian penyelenggara musik menggelar hajatnya sendiri. Padahal, banyak pelaku dalam industri ini masih butuh banyak belajar.

"Menurut gue, (idealnya) balik lagi, enggak pakai duit orang ... Orang-orang tuh harus tahu bahwa ngedatengin artis tuh tidak mudah. Secara strategi gue lebih bisa predict FnB daripada musik. Karena enggak ada yang tahu," tutur Argia soal proses yang sejatinya harus dilalui setiap penyelenggara musik.

Dari sisi Eet, kehadiran sponsor bahkan berdampak lebih luas. Budaya menonton musik di Indonesia kini makin melorot di mata Eet. Sejak era sponsor merajalela, Eet kerap menemui konser atau pun festival musik yang diselenggarakan secara gratis. Bagi Eet, hal ini buruk untuk industri gelaran musik. Ekosistem yang melibatkan penonton, penyelenggara, dan musisi kehilangan simbiosis saling untung yang sejatinya sempat terbangun di era '90-an.

"Semenjak masuk sponsor itu kan semakin banyak tuh event musik yang gratisan. Gue tidak bisa menyebut ini sepenuhnya salah, ya. Tapi, ekosistem itu kan sebenarnya penting. Bagaimana penonton bayar untuk menyaksikan sebuah hiburan," tutur Eet.

Dari sisi penonton, acara gratisan akan mengganggu edukasi tentang musik. Penonton nantinya tak tahu lagi mana musik bagus dan mana yang tidak. Pertimbangan seseorang menonton acara musik nantinya bukan lagi berdasar selera melainkan berdasar mana yang gratis dan mana yang tidak. Dari sisi penyelenggara, sebagaimana dikatakan Argia. Sponsor akan menghambat perkembangan alami para penyelenggara gelaran musik. Dari sisi musisi, acara gratisan bersponsor akan menghilangkan hasrat dan tanggung jawab musisi di atas panggung.

"Coba band luar. Mereka kalau main di satu acara itu, yang penontonnya bayar, kalau mereka main jelek, itu bisa dimaki-maki, bos. 'Lho, kita sudah bayar,' begitu. Nah, kalau di sini kan tidak. Acara gratisan pula. Pasti musisinya jadi, 'Ya sudahlah ya main seadanya. Acaranya juga gratis,' kan begitu," tutur Eet soal sisi psikologis yang dapat menjangkiti para musisi.

Hadapi kekacauan

Di luar dari segala kekacauan, para pelaku industri ini tak boleh menyerah. Menjaga semangat tetap menyala jelas penting. Absennya enam headliners Lokatara Fest 2019 bukan akhir. Terbakarnya sejumlah fasilitas penunjang acara dalam Musikologi 2019 juga tak boleh jadi penghancur semangat. Yang terpenting sejatinya adalah belajar dari kesalahan. Menyadari industri ini baru terbangun jelas poin yang juga perlu diingat.

Prosesnya barangkali sulit. Dampak psikologis hingga kerugian materi tak dapat ditampik. Tapi, apa pilihan lain kecuali menghadapi kekacauan ini. Sekali pun dengan cara yang pahit, misalnya. Suka tak suka, penyelenggara seperti Lokatara Fest 2019, Musikologi 2019, atau Jakarta Rock Space harus menanggung konsekuensi riil. Konsekuensi itu akan mendorong para penyelenggara belajar dari kesalahan.

Dari sisi musisi, menyusun kontrak secara profesional adalah perkara wajib. Setiap musisi harus mulai memasukkan kesepakatan cancel fee --atau formulasi konsekuensi lain-- untuk menghindari risiko kerugian dari pembatalan sebuah gelaran musik. Ketua Badan Pemajuan Profesi dan Hubungan Antar Lembaga IMARINDO (Ikatan Manajer Artis Indonesia) Luthfi mengatakan, yang menyebabkan sebuah gelaran musik batal biasanya adalah perkara administrasi.

IMARINDO sendiri menetapkan penalti khusus untuk event organizer (EO) yang membatalkan acara secara sepihak dalam klausul kontrak setiap artis yang mereka naungi. "Uang yang sudah masuk menjadi hak kami, dan promotornya wajib melunasi sisa pembayaran. Untuk pem-booking-an jadwal baru, harus bayar lagi. Jika pembatalan menyangkut force majure, mau tidak mau harus diterima oleh promotor dan artis," kata Luthfi kepada VOI, Jumat, 29 November.

"Klausal yang dipakai kemudian dicantumkan ke dalam kontrak kerja sama yang merupakan kesepakatan dua pihak, draf kontrak disusun oleh bagian legal dari kedua pihak, ditambah dengan adanya materai itu sudah memperkuat kedua pihak kedudukannya secara hukum (yuridis formil)," tambah Luthfi.

Selain proses menghadapi kekacauan, membangun semangat yang tepat juga perlu ditumbuhkan di kepala setiap penyelenggara. Uang memang penting. Tapi, seharusnya tak mungkin ekosistem yang terbangun baik antara penonton, penyelenggara, dan musisi rusak oleh orientasi keuntungan. Jangan sampai juga memulai langkah dengan sikap yang salah macam sikap inferior seperti dikisahkan Eet. Keberpihakan terhadap musisi lokal tetap penting untuk memulai.

Ikuti Tulisan Seri khas VOI edisi ini: Mengusik Gelaran Musik