Faisal Basri: Smoking Rate Indonesia Nomor 1 di Dunia, Kebijakan Melawan Agresivitas Pabrik Rokok Masih Mandul

JAKARTA - Ekonom Senior Faisal Basri menyoroti tinggi angka perokok di Tanah Air. Kata dia, angka ini terus naik dari tahun ke tahun.

Bahkan, pada 2020 lalu, Indonesia menempati posisi tertinggi dari 128 negara di dunia. Kata dia, kondisi ini memprihatinkan. Sebab, rokok menjadi penyebab kematian kedua setelah darah tinggi.

"Saya ingin memulai dari fakta bahwa kita harusnya sudah darurat rokok. Karena kita sudah nomor satu tertinggi di dunia untuk smoking rate ini ada 128 negara paling rendah di dunia adalah Ethiopia. Jadi Indonesia tertinggi tahun 2020 ini dengan rate 76,2 tertinggi, Ethiopia 8,9 dan smoking rate di Indonesia terus naik dari waktu ke waktu," katanya dalam diskusi virtual, Senin, 31 Mei.

Faisal mengatakan Indonesia sebelumnya menempati posisi negara kedua tertinggi setelah Yordania. Namun, sekarang telah berhasil menyusul dan menempati nomor satu dari 128 negara.

"Sebelumnya kalau saya tidak salah kita nomor 2 setelah Yordania, tapi sekarang Yordania pun sudah kita susul. Jadi Indonesia smoking rate-nya paling berkelanjutan. Jadi konsisten naik. Artinya segala upaya untuk kebijakan itu mandul untuk melawan agresivitas pabrik rokok, industri rokok," ucapnya.

Faisal mengingatkan bahwa kematian akibat rokok menempati posisi nomor dua di dunia, setelah darah tinggi. Kemudian diabetes, polusi dan obesitas. Menurut dia, jika pemerintah ingin mendorong masyarakat Indonesia produktivitasnya tinggi, maka setidaknya 5 penyakit utama ini menjadi prioritas untuk ditangani.

"Sedih sekali kalau kita investasi-investasi sumber daya manusia (SDM), tapi kalau sumber daya manusianya cepat mati kan jadi sia-sia begitu. Itu tadi ada perspektif, kalau kita tidak terkendali dan kemudian dia penyebab kematian. Sehingga investasi sumber daya manusia menjadi sia-sia," jelasnya.

Selain itu, kata Faisal, fakta yang ketiga adalah penerimaan cukai tidak pernah dipengaruhi oleh krisis apapun. Meski penerimaan negara anjlok, tapi cukainya naik terus. Bahkan 2020 di tengah era pandemi pendapatan dari cukai tembakau itu masih naik.

"Kita lihat 164,9 menjadi 170. Dan tahun ini ditargetkan naik lagi. Jadi di tengah pendapatan negara yang turun, penerimaan dari perpajakan juga turun, sedangkan dari cukai ini naik. Jadi secara tidak langsung cukai tembakau ini andalan penerimaan negara. Ini yang barangkali membuat pemerintah gamang. Karena belum menemukan sumber pendapatan yang bisa menggantikan," ucapnya.

Sekadar informasi, realisasi penerimaan cukai hasil tembakau tahun 2020 mencapai 103,21 persen dari target Perpres nomor 72 tahun 2020. Jika dibandingkan dengan tahun 2019, angka ini naik 3,26 persen.

"Penerimaan cukai hasil tembakau menyumbang 10.4 persen bagi pendapatan negara. Tertinggi sepanjang sejarah? Jika ditambah dengan PPh dan PPN perusahaan rokok, sumbangannya jauh lebih besar lagi. Penerimaan cukai hasil tembakau mencapai 96,55 persen dari total penerimaan cukai," kata Faisal.