Tidak Ada Intervensi Dalam Proses Pengadaan Pesawat, Emirsyah Satar Minta Keringanan Hukuman
JAKARTA - Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk Emirsyah Satar --sambil menyampaikan permohonan maaf atas kekhilafan yang dilakukan-- meminta keringanan hukuman yang seadil-adilnya kepada Majelis Hakim, atas tuntutan yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Hal itu kata Emir, terkait tidak ada kerugian negara di Garuda Indonesia, dan justru maskapai itu berhasil meraih keuntungan dan selamat dari kebangkrutan, serta semua saksi menyatakan tidak ada intervensi yang dilakukan oleh Emirsyah Satar dalam pengadaan pesawat di Garuda Indonesia.
Perkara menyangkut Rolls Royce di Inggris yang diinvestigasi oleh Serious Fraud Office (SFO) dinyatakan telah ditutup karena tidak terdapat cukup bukti dan tidak sesuai kepentingan publik.
Demikian antara lain pembelaan (pledoi) yang disampaikan oleh mantan Direktur Utama Garuda Indonesia, Emirsyah Satar dalam sidang penyampaian pledoi (pembelaan) yang dilaksanakan secara online hari Kamis, 30 April lalu.
Dalam salah satu bagian pembelaan yang disampaikan, Emirsyah Satar --seperti yang disampaikan oleh para saksi-- menegaskan bahwa ia tidak pernah mengintervensi atau mengarahkan pengadaan di Garuda Indonesia, dan ia sama sekali tidak mengetahui dan bermaksud untuk melakukan pencucian uang.
Keputusan pengadaan di Garuda Indonesia sudah selalu diambil Dewan Direksi berdasarkan usulan dari tim dalam forum rapat resmi, serta sudah dimintakan persetujuan kepada Dewan Komisaris karena semua berkomitmen untuk membesarkan Garuda Indonesia.
"Jadi tidak benar bahwa pengadaan sudah merugikan Garuda Indonesia atau inefisien. Sebab seluruh proses yang dilakukan, justru membuat Garuda selalu mendapatkan harga yang lebih murah dan keuntungan, sehingga dapat dipastikan tidak ada kerugian negara dalam kasus ini," ujar Emir dalam keterangan yang diterima VOI, Minggu 3 Mei.
Beberapa keuntungan yang didapatkan Garuda Indonesia antara lain cash back Engine Concession dari Rolls Royce senilai 26,6 juta dolar AS per pesawat yang dibeli dan menggunakan mesin Rolls Royce serta diskon dari Airbus sebesar 54 persen dan dari Rolls Royce sebesar 72 persen untuk tiap unit pesawat Airbus A-330. Sehingga harga pesawat A-330 yang didapatkan Garuda adalah 81,32 juta dolar AS, jauh di bawah harga tanpa diskon senilai 171,95 juta dolar AS.
Emirsyah Satar juga menyampaikan penyesalannya atas kasus yang terjadi. Menurutnya, apabila waktu dapat diputar kembali, maka ia akan memilih untuk tidak menjabat sebagai Direktur Utama Garuda Indonesia, karena kekhilafan yang dilakukannya telah mengecewakan seluruh rakyat Indonesia, dan khususnya keluarga serta kerabatnya.
Pada tahun 2005, Emirsyah Satar diminta oleh Menteri BUMN, Sugiharto untuk kembali ke Garuda Indonesia dan menyelamatkannya dari ambang kebangkrutan. Saat itu, Emirsyah Satar sudah nyaman dengan kedudukannya sebagai Wakil Direktur Utama Bank Danamon.
Setelah tiga kali diminta oleh Menteri BUMN, maka dengan semangat ingin berbakti kepada negara dan mengembangkan Garuda Indonesia menjadi perusahaan kelas dunia, akhirnya Emirsyah Satar menerima tawaran tersebut.
Garuda Indonesia pada tahun 2005 berada dalam keadaan nyaris bangkrut. Tidak seperti pada saat jayanya dengan nilai miliaran dolar AS dan mampu IPO di tahun 2011 dengan valuasi perusahaan senilai 1,8 miliar dolar AS atau Rp18 triliun, di mana negara mendapatkan Rp4,7 triliun dengan melepas 26 persen saham ketika melakukan initial public offering (IPO).
Pada tahun 2005 tersebut, utang Garuda mencapai 800 juta dolar AS dan kas perusahaan tidak cukup menutupi operasional, termasuk membayar gaji karyawan, serta kreditur mengancam menyita pesawat, artinya nilai Garuda negatif.
Di lain sisi, utilisasi pesawat tidak optimal karena sistem perawatan mesin tidak efisien dan mahal, mengakibatkan tingkat ketepatan penerbangan (on-time performance) jelek, yang berarti pesawat Garuda Indonesia sering mengalami delay.
Melalui program transformasi "Quantum Leap" yang dilaksanakan Emirsyah Satar selama kepemimpinannya di Garuda Indonesia, selain berhasil membawa maskapai tersebut menjadi airlines yang kembali meraih keuntungan, Emirsyah Satar juga menjadikan Garuda airline kelas dunia, di mana Garuda berhasil menjadi "airline bintang lima" (5 star airlines).
Garuda Indonesia juga menjadi airline dengan awak kabin terbaik (world's best cabin crew), world's best economy class, Garuda menjadi penerbangan Indonesia pertama yang mendapat standard safety internasional dari IOSA (international operational safety audit). Garuda Indonesia juga berhasil menjadi anggota aliansi penerbangan internasional "Skyteam" bersama 19 penerbangan dunia lainnya.
Emirsyah Satar dalan pledoinya juga memohon maaf atas kekhilafannya dan siap bertanggung jawab tetapi ia menyatakan tidak semua yang dikatakan dalan Surat Tuntutan adalah benar sehingga ia memohon keringanan hukuman.
Emirsyah Satar mengaku tidak mengetahui dan tidak bermaksud melakukan pencucian uang dan tidak pernah menitipkan uang kepada Soetikno Soedarjo. Selain itu ia juga menyatakan tidak melakukan back to back loan sebagaimana dituduhkan, karena rumah di Permata Hijau yang ditempatkan sebagai jaminan kredit di bank adalah harta yang sah dan sudah dia beli tahun 2004 sebelum menjabat di Garuda Indonesia.
Sehingga menurutnya, tidak benar rumah itu adalah hasil tukar tanah maupun dibeli menggunakan fee dari pengadaan di Garuda.
Sedangkan jual beli apartemen Silversea di Singapura antara Emirsyah Satar dengan Soetikno adalah transaksi riil bukan transaksi fiktif, semua pembayaran biaya perawatan dan penerimaan uang sewa apartemen dilakukan Soetikno Soedarjo dan apartemen tersebut sudah dikeluarkan Emirsyah dari LHKPN-nya.