Kesakralan Pesta Babi di Ujung Timur Indonesia

JAKARTA - Babi adalah hewan penuh teka-teki. Bagi penganut Islam atau Yahudi, babi dianggap binatang najis. Segala muatan terkait babi diyakini tak mengandung asas manfaat. Namun tak selamanya begitu.

Narasi babi bagi orang Irian Barat (Papua), Toraja dan Papua Nugini, misalnya. Mereka memandang babi tak ubah hewan suci. Babi hanya boleh hadir dalam ritual maupun acara sakral: pernikahan dan pemakaman. Lebih lagi, Babi jadi persembahan “mewah” untuk para leluhur.

Bilamana kehadiran babi dalam keluarga Muslim dan Yahudi dianggap tabu. Di bagian Timur Indonesia, tepatnya di Amungme, Timika kecintaan akan babi begitu tinggi. Bahkan, seseorang tak bisa sungguh-sungguh menjadi manusia tanpa ditemani oleh Babi. Bagi orang Amungme, babi laksana anggota keluarga.

Mereka merawat, memberi nama babi, dan membuatkannya kandang. Akan tetapi, kecintaan itu, tak seperti cinta orang Hindu India pada sapi betina. Bentuk kecintaan akan babi berarti mengurbankan dan memakan babi dalam acara-acara istimewa yang lazim dikenal pesta babi.

Bukan cuma satu atau dua keluarga saja yang memelihara babi. Sebab, hampir seluruh warga Amungme sedari dulu memilihara babi, sembari berkebun. Binatang itu secara tradisional mempunyai nilai simbolis yang tinggi dan sakral.

Dalam konteks itu, warga Amungme mengenal babi dalam empat simbol. Pertama, babi sebagai simbol untuk menyelesaikan masalah. Kedua, babi sebagai menentukan status sosial. ketiga babi sebagai simbol pembayaran yang sah.

Babi di Papua (Sumber: geheugen.delpher.nl)

“Di samping itu, babi juga dianggap sebagai sarana penyelesaian masalah, terutama mengatasi pertengkaran di antara kelompok klan, sebagai salah satu syarat rujuk antara satu klan dengan klan lainnya adalah pesta babi. Babi adalah simbol pembayaran perkawinan yang sah. Walaupun orang Amungme sudah lama tingggal menetap di Timika, dan sebagian norma-norma kota diserapnya tetapi masalah pembayaran mas kawin tetap dilakukan secara tradisional,” tertulis dalam buku Masyarakat Terasing Amungme di Irian Jaya (1995).

Pada masyarakat Toraja pun begitu. Kehadiran babi menjadi bagian penting dalam setiap ritual, seperti ritual rambu tuka (ritual kehidupan) atau rambu solo (ritual kematian). Kedua ritual itu membuktikan bahwa babi selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari siklus hidup orang Toraja. Pun banyak pula hal lainnya. Babi juga dikenal sebagai tanda perdamaian, bela sungkawa, berkat, persaudaraan, rasa syukur, dan pernikahan.

“Bahwa babi mempunyai tempat yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Toraja. Babi tidak hanya dimaknai sebagai kurban, tetapi bagi orang Toraja babi juga menyimpan makna yang lain seperti pendamaian, relasionalitas, dan nilai ekonomis. Babi juga bukan pertama-tama dikurbankan supaya keluarga mendapat berkat, tetapi ia dikurbankan untuk melihat tanda pada darah, empedu, dan jantung. Babi yang dikorbankan bisa saja mempunyai tanda yang tidak memberi keberuntungan bagi keluarga, tetapi justru malapetaka,” ujar Yekhonya F.T. Timbang dalam buku Teologi Kontekstual dan Kearifan Lokal Toraja (2020).

Pesta babi di Papua Nugini

Di antara banyak suku-suku yang menjadikan babi hewan sakral, maka Suku Tsembaga Maring yang tinggal di pegunungan Bismarck, Papua Nugini tak boleh begitu saja terlewat. Selain dikenal sebagai pecinta babi, mereka juga dikenal dengan sebagai penyelenggara pesta makan babi besar-besaran yang bernama “Kaiko.”

Penjabaran panjang terkait pesta makan babi ini bahkan sudah ditulis sejak tahun 1963. Profesor Roy Rappoport dari University of Michigan adalah dalangnya. Ia menjadi orang pertama yang mempelajari interaksi antara babi dan suku Tsembaga Maring.

Penelitian Rappoport mengungkap bahwa Kaiko dilaksanakan tiap 12 tahun sekali. Pesta makan babi itu berlangsung selama setahun penuh. Tujuan pesta tak lain sebagai sebentuk usaha gencatan senjata antara klan-klan suku Tsembaga Maring.

Lebih lagi, upaya ini sebagai pengendalian kawanan babi yang mulai bersaing keras dengan manusia dalam memperebutkan makanan. Pada saat itu, seluruh babi yang ada dijadikan santapan. Secara berturut-turut, penduduk kampung dan tamu-tamu mereka melahap daging babi dalam jumlah besar.

“Tingkah laku yang dijelaskan oleh Rappaport ialah siklus upacara dengan penyembelihan babi yang berlangsung pada masa transisi antara satu periode dengan periode lain selama masa gencatan senjata yang diselingi dengan peperangan,” tulis Yunita T. Winarno dalam Berita Antropologi berjudul Perbedaan antara Interpretasi dan Neofungsionalisme dan Tindakan Individu yang Rasional: Kasus Siklus Upacara Maring di Papua Nugini (1986).

“Siklus upacara tersebut berfungsi penting sebagai suatu mekanisme pengatur diri sendiri yang mempertahankan keseinbangan antara penduduk dengan komponen-komponen non-manusia dalam lingkungan hidupnya, dan dengan kelompok-kelompok penduduk berbahasa Maring yang lain dalam lingkungan lebih luas,” tambahnya.

Babi di Kalimantan (Sumber: geheugen.delpher.nl)

Setelahnya, dalam dua atau tiga bulan pasca Keiko, klan-klan kembali terlibat dalam peperangan bersenjata dengan musuhnya. Banyak korban jatuh, dan wilayah-wilayah kekuasaan ada yang hilang, ada pula yang ditaklukkan.

Ketika kedua klan yang berseteru mendapati bahwa mereka kekurangan babi-babi dewasa untuk mendapatkan restu leluhur, perang pun dihentikan secara tiba-tiba. Kemudian pihak-pihak yang berperang mulai memperbaiki tempat-tempat suci untuk menanam pohon kecil yang dikenal sebagai rumbin.

Tiap laki-laki dewasa anggota masing-masing klan diharuskan berpartisipasi dalam ritual ini. Mereka harus meletakkan tangan pada tunas rumbim saat ditancapkan ke dalam tanah. Senafas dengan itu, dukun perang lalu berbicara kepada para leluhur menjelaskan bahwa mereka telah kehabisa babi dan bersyukur mereka masih hidup.

Dukun itu pula menjadi aktor yang meyakinkan para leluhur jika peperangan kini telah berakhir. Dalam artian, permusuhan tidak akan dilanjutkan selama rumbim tetap berada di dalam tanah.

“Mulai saat itu, pikiran dan jerih payah orang yang hidup akan diarahkan untuk mengembangbiakkan babi. Ketika kawanan babi baru telah dibesarkan dan cukup untuk sebuah Keiko, sebagai ungkapan terima kasih yang layak kepada leluhur, maka barulah para ksatria berpikir untuk mencabut rumbim dan kembali ke medan laga,” tutup Antropolog Marvin Harris dalam buku Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir (2019).