China Waspada Gelombang Kedua Penyebaran COVID-19

JAKARTA - Sebuah studi mengatakan, bagi negara-negara yang hendak mengakhiri masa lockdown serta memperbolehkan masyarakat untuk kembali beraktivitas dan bekerja harus memantau dengan cermat akan kemungkinan kasus COVID-19 baru. Hal tersebut harus dilakukan hingga mereka menemukan vaksin COVID-19. 

Melansir The Guardian, Kamis, 9 April, kontrol agresif yang dilakukan China atas kegiatan sehari-hari masyarakatnya telah berhasil mengakhiri gelombang pertama COVID-19, kata para peneliti yang berbasis di Hong Kong. Namun China harus waspada terhadap gelombang kedua yang sangat nyata dan tidak kalah berbahaya.

“Sementara langkah-langkah kontrol ini tampaknya telah mengurangi jumlah penularan ke tingkat yang sangat rendah, tanpa kekebalan terhadap COVID-19, kasus-kasus tersebut dapat dengan mudah muncul kembali ketika pusat bisnis, operasi pabrik, dan sekolah secara bertahap dibuka kembali dan meningkatkan banyaknya interaksi sosial. Terutama mengingat meningkatnya risiko kasus impor dari luar negeri karena COVID-19 terus menyebar secara global,” kata Prof Joseph T Wu dari University of Hong Kong, yang ikut memimpin penelitian ini.

China telah memperhitungkan jumlah rata-rata orang yang berisiko menularkan COVID-19 (angka reproduktif) dari dua atau tiga menjadi di bawah satu, di mana epidemi secara efektif menyusut.

Tetapi, para peneliti memperingatkan, jika kehidupan normal diberlakukan terlalu cepat dan pencabutan kontrol terlalu luas, jumlah rata-rata orang yang menularkan COVID-19 akan meningkat lagi. Pemerintah perlu terus mencermati apa yang terjadi ke depannya. 

"Meskipun kebijakan kontrol seperti physical distancing dan perubahan perilaku kemungkinan akan dipertahankan untuk beberapa waktu. Secara proaktif menyeimbangkan antara melanjutkan kembali kegiatan ekonomi dan menjaga angka reproduktif di bawah satu kemungkinan menjadi strategi terbaik sampai vaksin efektif tersedia secara luas," kata Wu.

Studi yang diterbitkan dalam jurnal medis Lancet didasarkan pada pemodelan epidemi COVID-19 di China. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kematian di China Daratan jauh lebih rendah, kurang dari 1 persen dibandingkan dengan di Provinsi Hubei di mana epidemi berasal yang memiliki tingkat kematian hampir 6 persen. Hal itu juga bervariasi sesuai dengan kemakmuran ekonomi masing-masing provinsi, yang terkait dengan layanan kesehatan yang tersedia.

"Bahkan di kota-kota besar yang paling makmur dan sumber daya yang baik seperti Beijing dan Shanghai, sumber daya kesehatan dan layanan yang akan berjuang dengan peningkatan kasus yang terjadi tiba-tiba, jumlahnya terbatas," kata Prof Gabriel M Leung dari University of Hong Kong. 

“Temuan kami menyoroti pentingnya memastikan bahwa sistem perawatan kesehatan lokal memiliki staf dan sumber daya yang memadai untuk meminimalkan kematian terkait COVID-19,” tambahnya. 

Analisis mereka menggunakan data Komisi Kesehatan lokal dari kasus COVID-19 yang dikonfirmasi antara pertengahan Januari hingga 29 Februari di empat kota yaitu Beijing, Shanghai, Shenzhen, Wenzhou dan sepuluh provinsi di luar Hubei dengan jumlah kasus terbanyak. Hal ini mendorong mereka untuk mendesak bahwa pemberian izin masyarakat untuk kembali beraktivitas seharusnya dilakukan secara bertahap.

Memberi peluang kasus COVID-19 kembali meningkat juga akan menimbulkan kerugian kesehatan dan ekonomi yang sedikit lebih tinggi dari gelombang pertama, bahkan jika langkah-langkah besar dilakukan.

Berusaha menyeimbangkan antara melanjutkan kegiatan ekonomi dan menjaga kontrol cukup ketat untuk mencegah penularan COVID-19 kemungkinan menjadi strategi yang optimal sampai vaksin yang efektif tersedia secara luas. Terlepas dari kenyataan bahwa kebijakan pengendalian, termasuk social distancing, perubahan perilaku dan kesadaran masyarakat harus dipertahankan untuk beberapa waktu ke depan. 

Sekadar informasi, pada Rabu kemarin Otoritas Kota Wuhan mulai mengizinkan orang-orang untuk meninggalkan kota tersebut untuk pertama kalinya sejak kota tersebut mengalami lockdown 76 hari yang lalu. Meski demikian, , kata pejabat kesehatan, penduduk asli Wuhan tetap didesak untuk tidak meninggalkan lingkungan mereka baik kota maupun provinsi.

"Jumlah pasien tanpa gejala perlahan naik, saya khawatir tentang ini," kata Yang Chengjun, seseorang yang hendak meninggalkan Wuhan. 

Kontrol tinggi terus dilakukan di kompleks-kompleks perumahan di Wuhan. Mereka hanya dapat pergi jika mereka memiliki kode kesehatan hijau atau dokumen yang menunjukkan alasan yang sah.