Gagasan Prabowo Subianto Ampuni Koruptor Bukti Pemerintah Tak Serius Berantas Korupsi

JAKARTA – Ucapan Presiden Prabowo Subianto yang berniat memaafkan para koruptor dengan syarat mereka mengembalikan kerugian negara membuat banyak kalangan terheran-heran. Gagasan ini kata Firdaus Cahyadi, pendiri Indonesian Climate Justice Literacy, adalah bentuk kesesatan cara berpikir dalam memberantas korupsi.

“Hai para koruptor atau yang merasa pernah mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kami maafkan,” kata Prabowo pada 18 Desember lalu.

“Tapi kembalikan dong. Nanti kita beri kesempatan cara mengembalikannya, bisa diam-diam supaya tidak ketahuan,” imbuhnya.

Presiden Prabowo Subianto. (ANTARA/Galih Pradipta/rwa/aa)

Tidak ada penjelasan secara detail dari Prabowo bagaimana rencananya memaafkan orang yang dijatuhi pidana korupsi. Yang jelas, gagasan ini membuat banyak orang geleng-geleng kepala.

Kasus Korupsi Terus Meningkat

Melihat reaksi negatif publik, tangan kanan Prabowo di kabinet memberikan penjelasan lebih lanjut. Menteri Koordinator bidang Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Imigrasi dan Permasyarakatan Yusril Ihza Mahendra. Ia mengatakan usulan Prabowo memaafkan koruptor asal mengembalikan kerugian negara merupakan bagian dari amnesti.

Sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara, menurut Yusril Prabowo memiliki kewenangan memberi amnesti dan abolisi kepada total 44.000 tindak pidana apa pun, termasuk korupsi. Sebelum memberikan amnesti dan abolisi, Prabowo juga akan meminta pertimbangan DPR lebih dulu, sesuai amanat konstitusi.

"Presiden mempunyai beberapa kewenangan terkait dengan apa yang beliau ucapkan di Mesir terkait penanganan kasus-kasus korupsi, yaitu kewenangan memberikan amnesti dan abolisi terhadap tindak pidana apa pun dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara," ujar Yusril dalam keterangan tertulisnya pada 19 Desember.

Yusril menilai pernyataan Prabowo menjadi gambaran dari perubahan filosofi penghukuman dalam penerapan KUHP nasional yang akan diberlakukan di awal 2026. Dikatakan Yusril, penegakan kasus korupsi bukan lagi menekankan balas dendam dan efek jera pada pelaku, tapi menekankan keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif.

Dua terdakwa kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah tahun 2015-2022 Harvey Moeis dan Reza Andriansyah berjalan keluar ruangan sidang usai menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (23/12/2024). (ANTARA/Aprillio Akbar/tom)

“Kalau hanya para pelakunya dipenjarakan tetapi aset hasil korupsi tetap mereka kuasai atau disimpan di luar negeri tanpa dikembalikan kepada negara, maka penegakan hukum seperti itu tidak banyak manfaatnya bagi pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat,” tegasnya.

Pendiri Indonesia Climate Justice Literacy, Firdaus Cahyadi tidak habis pikir dengan wacana ini. Menurutnya, rencana pemberian maaf terhadap koruptor bukan hanya memberikan pertanda ketidakseriusan pemerintah memberantas korupsi, namun juga akan makin membuka lebar peluang korupsi di sektor sumber daya alam (SDA).

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada 791 kasus korupsi sepanjang 2023, dengan jumlah tersangka 1.695 orang. Diky Anandya, peneliti ICW, mengatakan, jumlah ini meningkat signifikan dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 579 kasus dengan tersangka 1.396 orang.

Meski demikian, potensi kerugian negara pada 2023 masih di bawah 2022. Pada 2022, potensi kerugian negara yang dikembalikan mencapai Rp42,7 triliun, tapi pada 2023 hanya Rp28,4 triliun. Namun menurut kacamata ICW, potensi kerugian negara masih sangat besar.

Setiap tahunnya kasus korupsi yang selalu mengalami peningkatan. Pada 2019, ICW mencatat kasus korupsi yang terungkap adalah 271 kasus dengan 580 tersangka dan potensi kerugian negara Rp8,4 triliun.

Pada 2020 ada 444 kasus korupsi dengan 875 tersangka dan potensi kerugian negara Rp18,6 triliun, lalu pada 2021 ada 533 kasus dengan 1.173 tersangka dan potensi kerugian negara Rp29,4 triliun.

Terlalu Sempit Memandang Korupsi 

Bicara korupsi, tidak hanya soal kerugian berupa materi. Korupsi mengakibatkan melambatnya pertumbuhan ekonomi negara, menurunnya investasi, meningkatnya kemiskinan serta meningkatnya ketimpangan pendapatan. Korupsi juga dapat menurunkan tingkat kebahagiaan masyarakat di suatu negara.

Melihat apa yang diungkapkan Prabowo soal pemberian maaf kepada koruptor dengan syarat mengembalikan uang negara, menurut Firdaus Cahyadi sang presiden terlalu sempit dalam melihat korupsi.

“Kerugian dari tindakan korupsi tidak sekedar hilangnya uang negara. Korupsi di sektor SDA misalnya, kerugiannya juga berupa kerusakan alam dan meningkatkan konflik sosial. Jika kemudian koruptor di sektor SDA dimaafkan hanya karena telah mengembalikan uang, lantas bagaimana dengan kerusakan alam dan konflik sosial yang ditinggalkannya?” ucap Firdaus dalam keterangan yang diterima VOI. 

Rencana memberikan maaf kepada koruptor juga kian memperkuat dugaan bahwa arah pembangunan di era Prabowo berdasarkan pada ekonomi ekstraktif, yang berpotensi merusak alam dan menimbulkan banyak pelanggaran HAM.

Dituturkan Firdaus, pembangunan berbasis ekonomi ekstraktif dari sisi ekologi dan sosial berpotensi membuat para elite politik dan ekonomi menggunakan cara-cara ilegal untuk menabrak atau bahkan mengubah aturan yang ada.

Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra berikan keterangan kepada wartawan di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta, Selasa (10/12/2024). (ANTARA/Fianda Sjofjan Rassat)

Pembangunan berbasis ekonomi ekstraktif itu, lanjut Firdaus, disamarkan dengan menggunakan jargon nasionalisme sempit, seperti swasembada pangan, energi dan melanjutkan hilirisasi mineral kritis seperti nikel.

“Swasembada pangan yang implementasi di lapangannya adalah proyek food estate, sangat berpotensi menghancurkan tata ruang akan berdampak buruk bagi lingkungan hidup. Begitu pula proyek swasembada energi berbasiskan biofuel, panas bumi dan batubara,” tegasnya.

Karena itulah, ia mendorong publik harus mulai bersuara menentang gagasan Prabowo memberikan maaf kepada koruptor.

“Publik harus mulai mengingatkan para elite politik bahwa rakyatlah pemegang kedaulatan politik tertinggi. Seorang presiden hanyalah pelayan yang dibayar dengan uang pajak rakyat sehingga tidak selayaknya kebijakannya justru merugikan kepentingan rakyat,” pungkasnya.