Tolak Kenaikan PPN, Ekonom Berikan Saran Kebijakan Lainnya
JAKARTA - Pemerintah bakal menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen pada 1 Januari 2025.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Achmad Nur Hidayat menilai kenaikan tarif PPN menjadi isu panas di kalangan masyarakat Indonesia lantaran munculnya petisi daring bertajuk Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN dan telah ditandatangani lebih dari 100.000 karena banyak pihak merasa bahwa kebijakan ini tidak sesuai dengan kondisi ekonomi masyarakat saat ini.
Adapun rencana pemerintah untuk menaikkan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen pada Januari 2025 didasarkan pada UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Achmad menyampaikan kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, yang diproyeksikan menambah sekitar Rp100 triliun per tahun dari sektor pajak konsumsi.
Menurut Achmad, kenaikan ini diperkirakan dapat meningkatkan inflasi hingga 0,5 persen pada tahun pertama implementasi, terutama berdampak pada harga kebutuhan pokok dan barang lainnya.
"Pemerintah perlu mempertimbangkan dampak pada pengeluaran lain untuk stimulus yang mungkin diperlukan guna meredam tekanan kenaikan harga terhadap daya beli masyarakat," jelasnya dalam keterangannya, Jumat, 20 Desember.
Adapun dalam konteks stimulus, pemerintah telah menyiapkan Paket Kebijakan Ekonomi untuk Kesejahteraan dengan total nilai Rp445,5 triliun atau 1,83 persen dari PDB.
Rincian paket ini mencakup 15 jenis insentif fiskal dan nonfiskal, termasuk pembebasan PPN untuk bahan kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, dan gula konsumsi;
PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 1 persen untuk barang kebutuhan pokok strategis seperti tepung terigu dan minyak goreng curah; bantuan pangan berupa 10 kilogram beras per bulan untuk 16 juta masyarakat di desil 1 dan 2; diskon tarif listrik sebesar 50 persen selama Januari hingga Februari 2025; dan insentif untuk sektor usaha, termasuk PPh final UMKM 0,5 persen.
Achmad menyampaikan paket ini dirancang untuk meredam tekanan inflasi akibat kenaikan PPN dan mendukung daya beli masyarakat yang rentan.
"Namun, jika tidak ada kenaikan PPN, pengeluaran stimulus Rp445,5 triliun itu tidak diperlukan, sehingga efisiensi anggaran dan keberlanjutan APBN bisa tercapai lebih kuat," jelasnya.
Menurutnya, kebijakan kenaikan PPN tampaknya kurang tepat dilakukan di tengah pemulihan ekonomi yang masih rapuh.
Achmad menyampaikan terdapat beberapa opsi lain daripada menaikan PPN 12 persen, hanya saja opsi ini membutuhkan kerja ekstra dari para policy makers dan ketekunan ekstra sebagai berikut:
1. Optimalisasi Pajak Digital
Perkembangan ekonomi digital di Indonesia sangat pesat, tetapi penerimaan pajak dari sektor ini masih belum maksimal.
Pada 2023, sektor ekonomi digital Indonesia diproyeksikan mencapai nilai transaksi sebesar 77 miliar dolar AS, dan angka ini terus meningkat setiap tahun.
Menurut Achmad, kontribusi pajak dari sektor ini masih berada di bawah 5 persen dari total penerimaan pajak. Oleh sebab itu, Pemerintah perlu memperbaiki mekanisme pemungutan pajak dari platform digital, termasuk e-commerce, layanan streaming, aplikasi ride-hailing, dan marketplace daring.
"Salah satu langkah yang dapat diambil adalah peningkatan pengawasan dan penegakan aturan terhadap perusahaan digital asing yang beroperasi di Indonesia," tuturnya.
Achmad mencontohkan seperti, banyak perusahaan digital global masih belum terdaftar sebagai wajib pajak resmi di Indonesia, sehingga pemerintah kehilangan potensi penerimaan pajak yang signifikan.
Achmad menyampaikan potensi penerimaan dari pajak digital ini sangat besar.
Jika pemerintah dapat mengenakan pajak yang adil pada transaksi digital, termasuk pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) untuk pelaku usaha digital, penerimaan negara dari sektor ini diperkirakan dapat mencapai tambahan Rp70-Rp100 triliun per tahun.
Sebagai perbandingan, negara seperti Inggris telah mengimplementasikan pajak digital khusus yang dikenal sebagai Digital Services Tax (DST).
Pajak ini menetapkan tarif sebesar 2 persen untuk pendapatan perusahaan teknologi dari pengguna domestik. Dalam tahun pertama penerapannya, DST Inggris berhasil mengumpulkan lebih dari 700 juta dolar AS.
Sementara itu, Prancis juga telah memberlakukan pajak digital serupa dengan tarif 3 persen, yang menyasar raksasa teknologi seperti Google, Amazon, dan Facebook.
Indonesia dapat mempelajari model ini dan menyesuaikannya dengan kondisi lokal.
Selain itu, Achmad menyampaikan pemerintah Indonesia juga bisa memperkenalkan skema kerja sama dengan platform digital untuk mempermudah pelaporan dan pemungutan pajak. Contohnya, Korea Selatan menggunakan integrasi data waktu nyata antara platform e-commerce dan otoritas pajak untuk memastikan semua transaksi tercatat secara akurat.
"Model seperti ini dapat diterapkan di Indonesia untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas," tegasnya.
Achmad menyampaikan dengan optimalisasi kebijakan pajak digital, pemerintah tidak hanya dapat meningkatkan penerimaan negara secara signifikan, tetapi juga menciptakan iklim persaingan yang lebih adil bagi pelaku usaha lokal dan global.
"Langkah ini juga mengurangi ketergantungan pada pajak konsumsi tradisional yang membebani masyarakat umum," ujarnya.
2. Reformasi Pajak Penghasilan (PPh) untuk Golongan Atas
Achmad menyampaikan Pemerintah dapat mengevaluasi ulang struktur Pajak Penghasilan (PPh) bagi golongan masyarakat berpenghasilan tinggi.
Pengenaan tarif yang lebih progresif pada kelompok super kaya akan menciptakan penerimaan tambahan tanpa berdampak langsung pada mayoritas masyarakat.
Kata Achmad, perkenalan pajak kekayaan (wealth tax) terhadap aset juga memberikan suasana pemerataan kepada mereka super kaya.
Pendekatan ini juga lebih adil karena mendistribusikan beban pajak sesuai dengan kemampuan ekonomi individu.
3. Perbaikan Tata Kelola Pemungutan PPN
Pemerintah harus fokus pada perbaikan tata kelola pemungutan PPN sebesar 11 persen yang sudah ada saat ini.
Dengan menutup celah kebocoran pajak, meningkatkan pengawasan, dan memperkuat sistem teknologi informasi perpajakan, potensi tambahan penerimaan bisa mencapai Rp50-Rp75 triliun per tahun tanpa harus menaikkan tarif.
4. Evaluasi Paket Bebas Pajak untuk Investasi Pertambangan dan Hilirisasi
Kebijakan pembebasan pajak untuk sektor pertambangan dan hilirisasi perlu dievaluasi ulang.
Peninjauan insentif yang kurang efektif dapat memberikan tambahan penerimaan hingga Rp30 triliun per tahun jika difokuskan pada investasi yang lebih produktif dan berkelanjutan.
5. Efisiensi Belanja Negara
Selain meningkatkan penerimaan, pemerintah perlu melakukan efisiensi pada belanja negara. Evaluasi terhadap program-program yang tidak produktif atau memiliki tingkat kebocoran tinggi harus menjadi prioritas.
Dana yang dihemat dari efisiensi ini dapat dialihkan untuk menutupi kebutuhan anggaran tanpa harus membebani masyarakat.
6. Pengembangan Ekonomi Hijau
Investasi pada sektor ekonomi hijau, seperti energi terbarukan dan pengelolaan limbah, memiliki potensi untuk meningkatkan pendapatan negara melalui inovasi dan insentif baru.
Pemerintah dapat memperkenalkan kebijakan pajak karbon yang adil, yang tidak hanya meningkatkan penerimaan negara tetapi juga mendorong keberlanjutan lingkungan.
Baca juga:
Achmad menyampaikan menunda kenaikan PPN dan mengeksplorasi alternatif lain yang lebih inovatif adalah langkah yang diperlukan untuk menjaga daya beli masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan memperkuat kepercayaan publik.
"Kebijakan fiskal yang baik adalah kebijakan yang tidak hanya menghasilkan penerimaan negara, tetapi juga mendukung kesejahteraan rakyat dan keberlanjutan ekonomi," jelasnya.
Menurut Achmad, dengan mendengarkan aspirasi masyarakat dan bertindak berdasarkan data serta analisis yang komprehensif, pemerintah dapat membuktikan bahwa mereka benar-benar bekerja untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.